Kyle Ty POV

36.5K 3.1K 159
                                        

Hari ini merupakan hari libur bekerja Untukku. Ya, Mario memberikan kami libur satu hari. Tapi sepertinya kali ini aku tidak bisa mengajak keluar Evan untuk berjalan-jalan. Walaupun itu hanya sekedar ditaman saja. Karena sesuai ucapanku kemarin, Aku mengajak Brenda untuk tinggal bersama. Walaupun awalnya dia menolak tawaranku dengan alasan tidak mau merepotkanku. Tapi justru bukankah aku yang merepotkannya. Maka dari itu aku memaksanya agar tinggal dirumahku. Akhirnya dia menuruti permintaanku. Dan hari ini aku membantunya untuk memintahkan beberapa barang-barang pribadinya. Entahlah aku tidak tahu sekarang rumahnya untuk apa karena mungkin nati akan menjadi rumah yang kosong.

"Brenda, nanti rumahmu bagaimana ?" Tanyaku padanya.

"Aku telah memikirkan semuanya nak. Aku sudah tua renta seperti ini. Aku sudah menganggap kalian keluargaku sendiri. Jadi, Aku akan menjual rumahku untuk membantu biaya pendidikan Evan. Sebentar lagi dia harus sekolah bukan ?"

"Jangan Brenda. Tidak perlu menjual rumahmu. Aku tahu rumahmu sangat berharga bagimu."

"Tapi masa depan Evan lebih berharga nak." Sungguh sekarang aku menjadi tak enak hati mendengarnya. Tentu saja aku menolak kemauannya. Bagaimanapun juga dia sudah banyak menolong kami. Dan sekarang dia malah mau menjual rumahnya untuk menyekolahkan Evan. Sungguh aku tak enak dengan Brenda.

"Sudah jangan dipikirkan nak. Kau sudah kuanggap sebagai anakku sendiri. Ah ya, lebih baik kau sekarang panggil aku dengan bibi saja bagaimana ? Aku tak enak mendengarmu memanggilku dengan hanya nama saja. Aku sudah tak muda lagi." Ucapnya diselingi dengan tawa pelan.

"Baiklah Bi. Tapi sungguh aku tak enak hati. Bagaimanapun Evan juga anakku dan seharusnya akulah yang membiayainya bi." Jawabku. Bibi Brenda mendekat padaku. Dia mengelus punggungku.

"Tidak apa nak. Evan sudah kuanggap cucuku sendiri." Aku memeluknya dan mengucapkan banyak terimakasih. Bahkan kuyakin kalau ucapan terimakasihku masih tidak mampu membalas jasanya.

Akhirnya kami melanjutkan kegiatan berberes kami. Aku tidak perlu kawatir dengan Evan. Saat ini dia sedang asik menonton televisi. Memang benar sekali ucapan bibi Brenda padaku tadi. Masa depan Evan sangatlah penting. Aku juga tidak mau menghambat masa depannya. Aku ingin dia menjadi seorang yang sukses kelak. Biarkanlah sekarang aku bersusah payah menguras keringat agar dia bisa lebih baik daripada diriku. Aku yakin kalau Evan akan memiliki masa depan yang cerah. apalagi dengan kepintarannya.

Drrttt...ddrrrtt...

Aku merasakan getaran ponselku. kuambil ponsel didalam saku ku. Kulihat ada panggilan tapi tidak ada nama. Hanya barisan nomor. Mungkin saja penting. Aku mengangkatnya.

"Halo." Ucapku.

"Temui aku nanti di taman jam 3 sore."

"Ini siapa ?" bingungku.

"Apa kau lupa dengan suaraku ?" Aku coba untuk mengenali suara ini. Hingga kusadari siapa yang mempunyai suara berat seperti ini.

"Chris-tian ? Bagaimana kau..."

"Apa kau lupa siapa aku ? Bahkan aku sudah tahu semuanya. Termasuk Evan. Jadi kalau kau tidak ingin terjadi apa-apa, lebih baik kau datang."

Baru saja aku ingin membuka suara, dia sudah mematikan sepihak panggilan telepon. Aku tahu kalau cepat atau lambat dia akan tahu siapa Evan. Aku hanya berharap kalau dia idak akan memisahkanku dengan Evan. Bahkan masih terputar diingatanku tentang ucapannya yang akan membuatku menderita. Rasanya ingin sekali aku kabur ke luar negeri. Tapi itu sama sekali tak mungkin. Itu hanyalah sebagian dari mimipku yang susah untuk kugapai. Bagaimana mungkin aku bisa pergi jauh dari kota ini dan berpindah tempat ke negara lain. Pasti semua itu membutuhkan biaya yang sangat banyak. Aku hanya mampu berdoa. Lebih baik sejenak kulupakan pikiran-pikiran negatif seperti ini dan kembali menolong bibi Brenda.

Hurt To Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang