"Boruto!!" Hinata mencoba membangunkan Boruto yang sedari tadi mengigau soal Sarada.-----
Cahaya ini, cahaya yang berbeda dari sebelumnya.
Cahaya yang sering Boruto lihat.
Ya, cahaya lampu.Boruto mengangkat perlahan kelopak matanya.
Melihat di sekelilingnya ada teman-temannya, teman-teman ayah ibunya, Himawari.
Tapi, tidak dengan dia.Boruto berusaha bangkit dari posisi tidurnya.
"Et," Naruto menahannya bangkit dengan menahan kedua pundaknya.
"Jangan paksakan dirimu."Boruto yang merasa tubuhnya memang masih lemas, merebahkan lagi tubuhnya ke tempat tidur.
Boruto melihat semua raut wajah orang-orang di sekelilingnya yang tampak sedih.
"Apa yang baru saja terjadi, dattebassa?"Tidak ada satu orang pun yang menjawab pertanyaan Boruto.
Mereka malah saling menatap satu sama lain.
Seakan ada yang mereka sembunyikan dari Boruto."Ada apa? Kenapa kalian diam saja?"
Boruto menatap bingung semua wajah mereka."Em, kakak. Tenanglah dulu. Kau masih belum sembuh total. Kau masih harus banyak istirahat, kak." Himawari mencoba mengalihkan perhatian Boruto.
"Tidak. Aku baik-baik saja. Sekarang, kalian jawab saja pertanyaanku."
"Kakak. Kumohon jangan buat kami khawatir lagi." Himawari benar-benar memohon pada kakaknya.
Dia tetap berusaha untuk mengalihkan perhatian Boruto, sampai waktunya tiba nanti.Boruto membulatkan matanya.
Menghela nafas pelan.
'Apa sedari tadi aku membuat mereka khawatir?'Boruto menganggukkan kepalanya.
"Maafkan aku."Himawari mengangguk dengan senyuman yang mengangkat kumis di kedua pipinya.
Boruto membenarkan posisinya di tempat tidur.
Dan dia teringat sesuatu pada mimpinya."Aa, Sarada dimana?"
Raut wajah mereka kembali ke raut sebelumnya.
Mereka tidak menjawab pertanyaan Boruto.
Malah menatap satu sama lain."Dimana Sarada, dattebassa?"
Boruto menatap ke langit-langit rumah sakit.
"Aku, ingin minta maaf padanya. Aku, ingin menjelaskan...""Boruto! Pulihkan dulu tubuhmu. Mana bisa kau menemui Sarada dengan keadaan seperti ini?" Sakura menyela.
Sakura mendekat ke Boruto, menarik pelan selimutnya, dan menutupi seluruh tubuh Boruto."Dengarkan aku dulu." Boruto merasa mereka tidak mau mendengar penjelasannya.
Semuanya terdiam.
Menatap Boruto dengan tatapan yang tampak mengatakan 'cepat, katakan.'"Aku ingin menjelaskan soal pernikahanku ini. Sebenarnya aku...aku..."
Tiba-tiba pikirannya teringat oleh Sumire.
"Aa iya, dimana perempuan sial itu, dattebassa?"Sakura tersenyum tipis menanggapi kata-kata Boruto yang teralihkan oleh ingatannya tentang Sumire.
"Aku rasa dia harus pergi jauh menebus semua kesalahannya."Boruto mengangkat satu alisnya.
"Apa ada yang terjadi selama aku pingsan, bibi?""Hihi, iya. Sumire kalah melawannya. Dia harus di kirim ke dunia lain untuk menebus semua kesalahannya." Sakura menjawan dengan memamerkan giginya.
"Maksudnya, dia sudah mati?"
"Bukan. Dia hanya pergi ke dimensi lain." Naruto menyela.
Mulut Boruto membentuk bulat.
Kepalanya mengangguk-angguk.
"Apa dia kalah bertarung? Siapa yang membawanya kesana?"Semuanya terdiam lagi.
Menatap satu sama lain lagi."Ah, DIA sudah melawannya." Naruto menyamarkan namanya.
"Dia?"
"Boruto, sudahlah. Kau istirahat saja. Jangan banyak bergerak, sayang. Disini banyak teman-temanmu. Apa kau tidak merindukan mereka?"
Hinata mencoba mengalihkan perhatian Boruto.Mata Boruto beralih pada teman-temannya.
Melihat Ino-Shika-Cho berada di barisan yang mengelilinginya."Hei, kalian!" Boruto mulai menyapa.
"Aa, hai Boruto! Apa kau sudah baik?" Shikadai membalas sapaan Boruto.
Boruto menggangguk.
Dia memutar ingatannya pada sebuah kejadia setelah dia mengakhiri hubungannya dengan Sarada."Em, ibu, apa aku boleh bicara dengan Shikadai saja?"
Semuanya mengangguk.
Membalikkan badan, lalu keluar dari ruangan Boruto.
.
.Shikadai melangkah mendekati Boruto.
Mengambil tempat duduk di samping tempat tidur Boruto yang sudah disediakan."Ada apa, Boruto?"
Boruto terdiam sejenak.
Terus memutar ingatan menyakitkannya setelah mengakhiri hubungannya dengan Sarada."Shikadai,"
Shikadai menoleh ke Boruto.
"Apa kau...sedang menjalin hubungan dengan Sarada?"
Shikadai jelas kaget mendengar pertanyaan Boruto.
"Apa maksudmu?""Aku...melihatmu di taman berdua dengan Sarada saat itu."
Shikadai memutar kedua iris matanya, bosan.
"Aku tidak menjalin hubungan apa-apa. Hanya kebetulan saja aku melihat Sarada dan duduk di sampingnya.""Jangan berdusta."
Shikadai menatap bingung Boruto.
"Aku bicara sungguhan.""Tapi kenapa Sarada bisa tersenyum padamu saat itu? Padahal selama ini dia jarang memberikan senyumnya pada seorang laki-laki yang setara dengannya kecuali aku."
"Boruto, sungguh. Aku..."
"Dan saat acara pernikahan tadi, aku juga melihatmu tersenyum bersama Sarada. Aku pikir kalian menjalin suatu hubungan." Boruto menyela.
Shikadai menghela nafas kesal.
"Demi Dewa, Boruto! Aku sungguh tidak menjalin hubungan lebih dengan Sarada.""Jangan bohong. Mataku melihat segalanya."
Shikadai menggaruk atas rambutnya.
Menghela nafas kasar, merasa kesabarannya mulai habis.
"Percayalah pada matamu itu. Karena kita tidak bisa selalu percaya pada mata yang hanya bisa untuk melihat kejadian di depan kita. Suatu saat dunia yang indah ini juga bisa berubah gelap karena mata kita.""Apa maksudmu?" Boruto menatap bingung Shikadai.
Shikadai yang takut mengeluarkan amarahnya itu, kini melangkah menuju ke pintu.
"Suatu saat kau akan tau. Siapa yang sudah mengorbankan sebelah penglihatannya untuk menyelamatkanmu."
Shikadai pun akhirnya pergi dari ruangan Boruto.Boruto tidak mengerti maksud Shikadai.
Dia terus berfikir apa maksud dari kata-kata yang baru saja dilontarkan Shikadai padanya.
"Suatu saat kau akan tau. Siapa yang sudah mengorbankan sebelah penglihatannya untuk menyelamatkanmu."
Maksudnya?****
2 hari berlalu.
Boruto sudah mulai pulih dari keadaan sebelumnya.
Dia merasa sudah lebih sehat.
Walaupun mungkin, pikirannya masih terus bertanya-tanya dimana Sarada dan Sumire.Boruto yang baru selesai buang air kecil dari kamar mandi ruang rumah sakitnya, mengambil posisi duduk di tempat tidurnya.
Boruto melihat Hinata yang menghampiri dirinya."Boruto, ibu ingin bicara padamu. Boleh?"
Boruto menatap indigo flight ibunya.
Dan mengangguk.Hinata membawa Boruto ke depan ruangannya.
Disana sudah disediakan kursi panjang untuk duduk 2 orang.Boruto dan Hinata mengambil posisi masing-masing yang bersebelahan.
"Apa yang mau ibu bicarakan? Kenapa harus sampai berdua saja?"
Hinata menatap sedih kepada sang putra.
Yakin atau tidak, baik atau jelek, dia tetap harus memberi tau segalanya.
Hinata menarik nafas panjang, lalu mengeluarkan perlahan.
"Boruto,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Maybe I Need You
FanfictionPernah #1 - Borusara Ketika tidak ada lagi cara untuk menemukan kebahagiaan, apa yang akan kamu lakukan?