"Itu benar," Poan Thian menyetujui. "Tetapi apakah artinya perbuatan itu bagi kita, yang juga mengerti ilmu silat dan tidak ada di bawah daripadanya?"
Hwat Yan membenarkan omongan kawan itu.
Tetapi ketika Poan Thian hendak mengambil piauw akan menyambit sampul merah itu, si calon paderi lalu mencegah sambil berkata: "Tidak usah Suheng mencapaikan hati, biarkan saja perkara kecil ini diurus olehku sendiri."
"Ya, kalau begitu, aku persilahkan kau mengambil sampul itu menurut caramu sendiri," kata Lie Poan Thian yang lantas urungkan niatnya buat menyambit sampul yang tergantung di atas tiong-cit itu.
Sementara Hwat Yan yang merasa telah dikasih ketika akan mengunjukkan kepandaiannya, lalu merogo sakunya dan keluarkan sebuah pelanting dengan sebutir peluru besi dengan mana ia telah tembak jatuh sampul itu, karena talinya putus terlanggar peluru tersebut.
Poan Thian jadi sangat kagum dan memuji atas kepandaian Hwat Yan dalam mempergunakan alat yang tergolong pada senjata-senjata rahasia itu.
Dan tatkala sampul itu dibuka, ternyata di dalamnya terisi beberapa baris tulisan yang berbunyi:
"Kamu berdua boleh susul aku ke Giok-hong-kok di pegunungan Jie-sian-san pada hari esok di waktu lohor. Aku tunggu kedatangan kamu berdua dengan segala senang hati. Jangan salah."Surat itu tidak dibutuhi tandatangan, tetapi sudah terang bahwa itulah telah ditulis oleh Wie Hui sendiri.
"Tetapi dimanakah letaknya pegunungan Jie-sian-san itu?" bertanya Lie Poan Thian yang baru saja pada kali itu mendengar ada sebuah gunung yang bernama begitu.
Sedangkan Hwat Yan sendiri yang tidak tahu dimana letaknya pegunungan itu, tentu saja tak dapat berbuat lain dari pada menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian ia berjanji akan menanyakan ini kepada penduduk-penduduk yang berdiam di luar kota Leng-po.
"Apabila gunung itu betul ada," katanya, "niscaya tidak sukar akan kita dapat ketemukan, tidak perduli berapa jauh letaknya dari kota ini."
Poan Thian mufakat dengan omongan itu.
Begitulah setelah berpamitan pada nona Ban Tho Hoa, kedua orang itu lalu menuju keluar kota Leng-po dan mampir di sebuah kedai makanan dan minuman yang banyak dikunjungi oleh orang-orang yang mondar-mandir keluar masuk kota.
Di sini, sambil berpura-pura membicarakan soal ini dan itu dengan orang-orang yang pada berkumpul di kedai itu, akhirnya Poan Thian mendapat kesempatan buat menanyakan, dimana letaknya pegunungan Jie-sian-san itu.
"Tuan ini orang dari mana?" bertanya orang itu sambil mengawaskan pada pemuda kita sesaat lamanya.
"Kami berasal dari utara," sahut Lie Poan Thian, "yang sekarang berada dalam perjalanan ke Jie-sian-san akan mencari seorang sahabatku."
"Tuan," kata orang itu, setelah bercelingukan ke kiri-kanan, "menurut pikiranku, lebih baik kau jangan pergi ke sana. Pegunungan itu bukan tempat kediaman orang baik-baik. Itulah sarang kawanan perampok yang di kepalai oleh seorang kepala kampak muda yang bernama Wie Hui."
"Ya, ya, benar, dia itulah yang kami hendak cari," kata Lie Poan Thian yang merasa tidak perlu lagi akan berlaku dengan secara sembunyi.
Karena ia telah yakin dari bukti-bukti yang telah dialaminya selama itu, biarpun mereka telah mencoba akan menyelidiki dengan secara diam-diam, tidak urung perbuatan itu telah ketahuan juga oleh pihak bakal lawannya itu. Maka dari itu, apakah perlunya ia selanjutnya berlaku sembunyi-sembunyi pula?
Orang yang ditanyakan keterangan tadi jadi semakin heran, ketika menyaksikan tingkah-laku dan pembicaraan Poan Thian yang begitu terbuka dan tidak mengunjuk sikap yang khawatir barang sedikitpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan
AventuraDi jaman Ahala Ceng, yaitu pada masa kaisar-kaisar Boan-ciu berkuasa di Tiongkok, di kalangan Kang-ouw banyak terdapat jago-jago silat yang nama-namanya sangat masyhur di seluruh negeri. Salah seorang antaranya adalah Sin-tui Lie Poan Thian, yang il...