[35.]Kehidupanku

3.7K 213 29
                                    

Kinan menatap kosong ke arah buku bacaan yang sangat ia sayangi, matanya sembab. Matanya yang bewarna merah itu terlihat pudar.

Rambutnya yang bewarna hitam persis dengan ibunya itu tertiup angin, dia terdiam di balkon istana kamar miliknya. Dia ingin sekali tahu soal Zen tapi sosok ibunya, ayahnya, Fiola, dan Galeo selalu melarang.

Hari sudah malampun Kinan tidak ingin beranjak dari tempatnya. Dia tetap memandang kosong ke arah kota yang lampunya sudah sedikit gelap karena hari sudah malam.

Dari atas di bisa melihat betapa luasnya kota yang dipimpin oleh keluarga Lucifer ini. Dia sangat tahu kalau ayahnya adalah orang yang baik dan ramah tapi kenapa kalau dengannya dia bisa sedingin itu?

"Hah... ayah beda... dia tidak terlihat ramah, tapi terlihat sangat dingin," gumam Kinan pelan.

Dia berdiri dan bertepatan dengan pintu kamarnya dibuka pelan oleh seseorang. Dia terdiam, dia merasakan sesuatu terjadi dengan tubuhnya. Dia memang memiliki jantung tapi tidak berdetak.

Zenard Fiolasond yang masuk secara tiba-tiba. Dialah yang masuk ke dalam kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Z-Zen? Kau ada apa?" Tanya kinan dengan suara yang bergetar dan wajah yang memerah. Zen diam lalu berjalan dan duduk di kursi di depan meja yang ada di balkon.

Kinan lalu duduk kembali, rasanya aneh saat seperti ini kalau Kinan akan senang. Nyatanya Zen berbicara saja tidak. Kinan sendiri tidak tahu maksud Zen datang kenapa.

"Ke-kenapa kamu ke-kemari?" Tanya Kinan ahkirnya, Zen mendongakkan kepalanya dan menatap ke arah Kinan dengan tatapan matanya yang bewarna merah darah.

Kinan sempat berpikir, yang vampir itu dirinya atau Zen? Kenapa mata Zen begitu merah dan merah itu merah gelap tidak seperti sosok Kinan.

"Aku hanya ingin bilang berhentilah seperti anak kecil," ucapan Zen bagaikan dirinya telah terhapus dari dunia, dia tidak menyangka kalau Zen akan berbicara seketus itu.

Zen menatap ke arah Kinan dengan tatapan dingin, "dengar, kamu ini sudah berumur 15 tahun, mencobalah untuk bertingkah dewasa."

"A-apa mak-maksudmu?"

"Aku tidak ingin kamu mencintaiku Kinan! Kau... kau lupakan saja rasa cintamu itu. Kau tidak boleh mencintaiku," ucap Zen dingin. Kinan tidak mengerti memilih diam hingga sebuah angin menerjang mereka.

Mereka berdua berdiri dan sekarang mereka bingung. Tiba-tiba angin menjadi sangat kencang, sesuatu terjadi Zen yakin.

Apa ada hubungannya dengan botol kaca yang berisi abu Kiezi itu diambil oleh seseorang? Zen menutup pintu dan langsung duduk dengan pikiran yang berkecamuk.

"Kau tunggu di sini, aku akan lapor soal angin ini kepada Bevan dan yang lain," ujar Zen pelan lalu langsung melesat keluar.

---

"Angin ini?" Gumam Gleya pelan, dia tidak mengerti apa-apa sekarang. Dia menatap ke arah Bevan yang balas menatapnya dengan tatapan, 'apa artinya ini?'

Zen dan juga Kinan berada di sana, mereka berkumpul di ruang utama kerajaan dengan keresahan. Aslinya Kinan ingin bertanya soal 'botol kaca apa yang kalian bicarakan?'

Tapi dia masih ingin hidup, dia takut dengan ayahnya yang akan marah pada dirinya. Dia menghela nafas secara kasar.

"Permisi yang mulia Raja Bevan, kami mendapatkan informasi kalau angin ini tidak terjadi di pusat kota. Hanya terjadi di dekat istana saja di bagian arah hutan Lucifer arah barat."

"Begitu? Ya sudah aku tidak perlu bingung soal kota... oh iya tolong tingkatkan keamanan karena botol kacanya telah dicuri."

Prajurit itu mengangguk lalu pergi dengan sopan ke arah pintu ruangan utama.

"Zen, botol kaca apa yang dicuri?" Tanya Kinan memberanikan diri untuk bertanya.

Zen terdiam lalu menatap Kinan, dia menghela nafas kasar. "Kamu belum boleh ta--"

"Kenapa sih? Kenapa aku tidak boleh tahu!?" Teriak Kinan keras dengan penuh kekesalan, Bevan dan yang lain ikut menatap ke arah Kinan.

"Aku benci! Kenapa aku tidak boleh tahu!?"

"Diam! Sudah aku bilang kamu tidak boleh tahu! Kamu juga tidak tahu apa-apa! Kamu itu bersikaplah lebih dewasa!" Bentak Zen dengan kekesalan amat tinggi, aura Zen menjadi gelap. Aura ini sangat gelap, segelap aura Kiezi saat sedang marah.

Kinan terdiam, dia menatap takut ke arah Zen lalu menunduk, perlahan air mata turun dan semakin deras lalu dia berdiri dan langsung keluar dari ruangan itu.

Zen masih dengan auranya yang gelap lalu mengacak-acak rambutnya secara kasar, dia menghempaskan dirinya di tempat duduknya. Dia menatap ke arah Bevan dan Gleya dengan perasaan bersalah.

Bevan dan Gleya membalas dengan senyum kecil. Mereka tahu kalau Zen masih teringat dengan sosok Kiezi membuat Zen sendiri sering emosi.

"Maaf," gumam Zen pelan, Fiola yang ada di sebelah adiknya yang sekarang sudah tidak memiliki hubungan darah itu memeluk adiknya erat.

Zen meletakkan kepalanya bersandar di bahu sosok Fiola. "Kak, aku tidak bisa seperti ini terus, aku harus melupakannya tapi... tapi... tapi setiap malam saja aku selalu memimpikannya," lirih Zen pelan.

Fiola terdiam, mereka semua terdiam dengan perkataan sosok Zen. Sekarang semuanya menatap sosok Zen dengan pandangan bertanya.

"Apa maksudmu?"

"Aku sering bermimpi bertemu dengan Kiezi setiap malam, aku juga tidak mengerti itu apa?" Jelas Zen, mereka semua berpandangan lalu tersenyum kecil.

"Itu pertanda bagus."

"Apa?"

"Kemungkinan besar ada suatu harapan kalau Kiezi akan bangkit... mungkin... semoga saja," gumam Bevan pelan.

---

VINAANANTA

REVISI : SELASA, 10 OKTOBER 2017

BLOOD ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang