II

5.8K 387 19
                                    

Bantu koreksi yaaa

.

.

.

"Saya terima nikah dan kawinnya Minayu Fatimatuzzahra binti Rusdi Ahmad dengan maskawin seperangkat alat sholat, Al-Qur'an dan uang sebesar Rp. 2.019.000 dibayar tunai."

"Bagaimana saksi? Sah?"

"Sah!"

"Sah!"

"Sah!"

Mata Ara terpejam mendengar gema suara para saksi juga tamu undangan.

Sah?

Sekarang ia benar-benar sudah menjadi seorang istri. Istri dari laki-laki yang baru saja menyebutkan namanya dalam ijab kobul yang ia ucapkan.

Harusnya Ara merasa lega, atau setidaknya menyunggingkan sedikit saja senyuman pada hari yang akan ia temui hanya sekali dalam seumur hidupnya ini.

Tapi kenapa, kenapa rasanya susah sekali. Yang ada hanya airmata yang ingin mendesak keluar. Dan menetes begitu saja saat Ara merasakan sebuah bibir menempel pada keningnya.

Sampai sepersekian detik, bibir itu masih menempel. Ara ingin mendorong tubuh Gibran. Tapi kilatan blitz kamera menghentikannya. Sampai akhirnya Gibran menjauhkan tubuhnya dengan sendirinya.

Ara mengusap pelan airmata yang mengaliri pipinya sebelum mengangkat wajah. Memandang beberapa keluarganya yang datang serta para tamu undangan lainnya dengan senyum tipis yang mati-matian ia paksakan.

Walau tidak ada penyesalan, tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan. Dulu, bayangan seperti hari ini pernah menghampiri kepala Ara. Hanya saja dalam bayangan tersebut, laki-laki yang mengucapkan ijab kobul bukanlah Gibran.

Dan walau hanya sekedar bayangan, Ara bisa merasakan jantungnya yang berdegup kencang serta merasakan ribuan kupu-kupu beterbangan dalam perutnya. Bahkan, dalam bayangan itu ia tersenyum lebar.

Bukan senyum paksaan disertai rasa hampa yang menyesakkan seperti sekarang.

Gibran memasangkan sebuah cincin yang tadi dibawa oleh salah satu sepupunya pada jari manis tangan kiri Ara. Dan Ara mencium punggung tangan Gibran begitu ia selesai memasangkan cincin di jari tangan laki-laki yang kini bertanggungjawab penuh atas dirinya.

Lagi-lagi Ara hanya bisa memejamkan mata saat Gibran kembali mencium keningnya. Ia tahu itu bukan keinginan Gibran. Melainkan keinginan beberapa tamu undangan yang ingin mengambil gambar mereka.

Selesai dengan itu semua, Ara dan Gibran berjalan kearah orangtua mereka. Menyalaminya satu persatu. Tidak ada kata yang keluar dari Ibu Gibran. Atau haruskah Ara memanggilnya Ibu mertua mulai sekarang?

Sedangkan Ara hanya bisa tersenyum sedih saat Ayahnya berpesan beberapa hal tentangnya kepada Gibran.

"Ara itu orangnya cepet banget ngambek. Tapi nggak pernah macem-macem kok ngambeknya. Biasanya dia kalo lagi ngambek, pasti tidur. Bangunnya udah baik lagi. Tahan-tahan ya sama sifatnya yang itu." Gibran hanya mengangguk dengan senyum tipis.

Sedangkan Ara merasa terharu, dibalik sifat tegas dan keras Ayahnya. Ara tidak tahu jika ia menghapal kebiasaan Ara yang satu itu.

"Jadi istri yang baik ya Ra. Nurut sama suami. Jangan pernah bantah perintahnya." Airmata Ara menetes saat mendengar pesan Ibu.

Sejujurnya tanpa ia minta, Ara memang akan melakukannya. Karena sejak awal, ia sudah berniat akan menjadi istri sebaik Ibunya. Sejak dulu, Ibunya menjadi panutan Ara dalam mempersiapkan diri menjadi seorang istri.

Hari Setelah Akad [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang