XIX

5K 382 25
                                    

Udah lama ya, nggak up cerita ini.

Happy Reading!

*
*
*

Mobil yang Gibran dan Ara tumpangi keluar dari pekarangan rumah. Hari ini mereka akan mengunjungi Mama yang akan mengadakan syukuran untuk usaha barunya.

"Riris akan ikut dengan kita ke Lotim, kemarin Mama menghubunginya dan meminta agar dia ikut bersama kita karena kemungkinan akan pulang malam. Kata Mama, dia nggak tega kalau harus lihat Riris bawa mobil sendirian. Nggak apa-apa kan?"

Pertanyaan Gibran yang lebih terdengar seperti pernyataan membuat Ara terlihat bingung, tapi tidak lama kemudian menganggukan kepalanya.

Jadi Mama mertuanya sedekat itu dengan Riris?
Bahkan sampai meminta dan menghubungi langsung wanita itu untuk menghadiri acara syukuran yang di adakannya. Ara saja tahu informasi itu dari Gibran. Dan entah kenapa ia mulia terganggu dengan hal itu.

Ara mungkin memang bukan menantu yang Mama Gibran harapkan, tapi tetap saja kini dia sudah berstatus sebagai istri laki-laki itu.

Ya Allah, walau sudah memikirkan dan mempersiapkan diri dari jauh-jauh hari sebelum menikah dengan Gibran, tetap saja rasanya begitu menyedihkan saat harus mengalaminya langsung. Lagipula, kenapa sekarang ia mulai merasa aneh dengan itu semua. Bukankah seharusnya ia merasa biasa saja?

"Kalau kamu merasa nggak nyaman, aku bisa minta Riris untuk pakai taksi. Mungkin dia bisa menginap disana lalu pulang besok pagi." Kata Gibran saat menyadari raut wajah Ara yang terlihat berbeda dari sebelumnya.

"Nggak perlu kak, aku juga nggak apa-apa kok." Balas Ara.

"Benar?"

"Iya."

Gibran menghentikan mobilnya didepan sebuah rumah mewah dan mengubungi Riris. "Aku udah didepan rumah kamu." Dan mematikan sambungan telpon tidak lama setelahnya.

Begitu gerbang rumah tersebut terbuka, Ara bisa melihat Riris berlari kecil menghampiri mobil Gibran dan cukup terkejut saat tiba-tiba pintu disampingnya terbuka.

"Oh. Maaf aku pikir kamu nggak ikut, makanya aku buka pintu depan mobil. Soalnya biasanya duduk disitu." Ujar Riris.

"Kalau memang Mbak nya mau duduk disini, silahkan. Saya bisa duduk dibelakang."

Gibran menahan tangan Ara saat akan membuka sealt belt mobil. "Kamu diam disini, Riris bisa duduk dibelakang. Toh, nggak ada bedanya."

Ara menurut, dan mobil kembali berjalan saat Riris sudah masuk mobil dan duduk di jok belakang.

Perjalanan menuju rumah Gibran didominasi oleh celotehan Riris yang hanya ditanggapi seadanya oleh laki-laki itu. Sedang Ara hanya diam dan membuka suara saat Gibran bertanya beberapa hal padanya.

Gibran merasa sedikit menyesal menyetujui permintaan Mamanya yang meminta agar Riris ikut bersamanya. Bukan karena hubungannya dengan Riris yang pernah begitu dekat. Tapi yang Gibran sadari baru-baru ini, bahwa Ara bukanlah orang yang mudah nyaman jika ada orang baru disekelilingnya. Dia akan menjadi lebih pendiam dan sangat lama untuk bisa beradaptasi.

Bahkan dengan Gibran yang sudah berstatus sebagai suaminya dan bersama menjalani biduk rumah tangga hingga hampir setahun lamanya, Ara kadang masih terlihat sungkan dan malu-malu. Memang sangat jauh berbeda dengan Riris yang mudah dekat dan bergaul dengan orang-orang sekitar atau yang baru dikenalnya.

"Mampir di LCC dulu ya Ra? Kita beli beberapa oleh-oleh buat Ibu sama Bapak." Kata Gibran membelokkan mobilnya memasuki kawasan tempat perbelanjaan itu.

"Kita mau kerumah Ibu?" Ujar Ara terlihat antusias.

"Iya, kan mumpung di Lotim nanti."

Ara menganggukkan kepala cepat dan memandang cukup lama wajah Gibran yang masih terlihat sibuk menyetir, mencari tempat parkir yang kosong. Perasaan membuncah dengan perut yang terasa menggelitik kembali Ara rasakan. Mendapat perhatian Gibran akhir-akhir ini membuat jantung Ara berdebar cepat.

Debaran yang berbeda dari apa yang ia rasakan saat harus berdekatan dengan Gibran saat awal pernikahan dulu. Kali ini, bedaran itu terasa lebih menyenangkan dan membuatnya selalu ingin melihat wajah suaminya itu.

Apa mungkin kalau Ara sedang jatuh cinta pada suaminya? Secepat itu?

"Ris, mau ikut masuk atau tunggu disini?" Pertanyaan yang Gibran lontarkan pada Riris membuat Ara tersadar dari lamunan dan segera mengalihkan pandangannya. Merasa gugup jika sampai ketahuan memandang Gibran dengan begitu intens.

"Aku tunggu disini saja." Jawab Riris. Rasanya ia tidak akan sanggup melihat kebersamaan laki-laki yang masih dia cintai dengan istrinya itu saat berbelanja nanti. Setiap kali melihat perlakuan dan perhatian Gibran pada Ara, rasa kepercayaan diri Riris semakin menurun. Laki-laki itu benar-benar terlihat berbeda setelah menikah.

Dulu saat Gibran mengaku mencintai Riris, dia memang selalu bersikap baik dan menuruti apapun keinginan Riris walau harus wanita itu yang meminta lebih dulu. Tapi tidak pernah terlihat seperhatian sekarang, terlebih dengan inisiatifnya sendiri tanpa perlu diminta-minta.

*

Setelah membeli beberapa macam makanan serta buah, Gibran dan Ara berjalan keluar dari bangunan LCC.

"Ra, mau beli baju nggak?" Tanya Gibran saat mereka melewati toko pakaian.

"Nggak, baju aku sudah banyak." Jawab Ara. Lagipula tidak pernah terpikir olehnya untuk membeli baju disebuah toko dengan rata-rata pakaian yang bermerek terkenal. Bisa Ara pastikan harganya akan sangat mahal. Sayang uang yang akan dikeluarkan, lebih baik memberikannya pada orang lebih membutuhkan.

"Tapi yang kayak gitu kamu belum punya satu pun." Tunjuk Gibran pada sebuah lingerie yang terpajang di toko yang mereka lewati.

"Astagfirullah'hal'azim." Gumam Ara dan berjalan cepat meninggalkan Gibran dengan pipi bersemu merah.

Seumur hidup, tidak pernah sekalipun ia bayangkan akan menggunakan baju seterbuka itu. Bagi Ara, itu bahkan tidak layak disebut pakaian.

Tawa renyah Gibran yang berhasil menggodanya semakin membuat Ara mempercepat langkahnya. Ia benar-benar tidak mengerti akan sifat suaminya itu. Kadang terlihat begitu dingin, namun sekalinya berniat menggoda Ara, bisa Ara pastikan jika dirinya ingin menyembunyikan diri dilubang semut saking malunya.

"Loh, ditanya kok malah lari." Gibran mengejar langkah Ara, hingga kini mereka kembali berjalan berdampingan. "Aku beliin ya?"

"Beli saja, terus nanti biar kak Gibran yang pakai." Balas Ara.

"Memangnya kamu mau lihat aku pakai baju model begitu?"

"Ya nggak lah, ngeri kak!" Ujar Ara saat membayangkan Gibran mengunakan lingerie tersebut. Tubuhnya bahkan tiba-tiba bergidik.

Merasa gemas, Gibran mengacak kepala Ara yang tertutup hijab kemudian melingkarkan salah satu lengannya pada pinggang istrinya itu. Tanpa peduli pada degup jantung Ara yang berdetak begitu keras. Sedang Gibran menikmati semua ekpresi serta reaksi tubuh Ara pada setiap tindakan dan sentuhan yang ia berikan, rasanya menyenangkan.

Haruskah Gibran mengungkapkan bagaimana perasaan yang sebenarnya pada Ara?

Apa itu penting saat kini mereka telah berstatus sebagai suami istri dan menetapkan komitmen untuk mempertahankan rumah tangga mereka apapun yang terjadi nanti.

Dibandingkan dengan ungkapan perasaan, Gibran rasa sebuah tindakan jauh lebih penting untuk hubungannya dengan Ara sekarang.

Gibran hanya tidak ingin Ara berubah begitu tahu perasaannya. Ia pun belum mengetahui bagaimana perasaan Ara. Apa masih menetap dimasa lalu, atau tengah melangkah menuju masa depan.

*
*
*

Jum'at, 15 November 2019.


Hari Setelah Akad [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang