XXIV

4.6K 364 29
                                    

Saat Bapak bangun, Gibran dan Ara pamit untuk kembali ke Mataram. Mereka juga menyempatkan diri mengunjungi rumah Mama untuk berpamitan.

"Kalian nggak mau makan dulu?"

Ara tidak membuka suara dan menunggu Gibran untuk memjawab tawaran Mamanya. Ia masih merasa canggung walau sikap mertuanya itu sudah berubah padanya. Ia tidak bisa secepat itu merasa nyaman saat berada di dekat Mama.

"Nggak usah Ma, nanti saja di rumah."

"Ya sudah, hati-hati di jalan." Pesan Mama saat Gibran dan Ara bergantian mencium punggung tangannya. Lalu masuk ke dalam mobil, dan Gibran mulai menjalankan kendaraan beroda empat tersebut.

"Kenapa Ra?" Tanya Gibran saat Ara terlihat melamun.

"Ya?" Tanya Ara balik, bingung.

"Kamu kenapa? Ada sesuatu yang terjadi selama kamu di Selong?"

Ara terlihat ragu sebelum menjawab. "Mama berubah ya?"

"Berubah gimana?"

"Jadi lebih ramah ke aku, biasanya--- maaf. Aku nggak bermaksud menjelek-jelekkan Mama." Kata Ara saat sadar. Bagaimana bisa ia ingin mengeluhkan sikap wanita yang telah melahirkan Gibran di depan Gibran sendiri. Ia hampir saja membuat tersinggung suaminya itu.

Namun mendapati Gibran tersenyum tipis, membuat Ara kembali bingung.

"Maaf atas sikap Mama selama ini ya." Gibran menggenggam jemari Ara dengan sebelah tangannya. "Mama berubah karena mungkin sudah menyadari dan mengenal bagaimana kamu. Selama ini aku nggak bisa berbuat banyak karena mengenal sepenuhnya bagaimana sifat Mama. Ia nggak akan peduli apa yang aku atau orang lain katakan jika nggak melihat dengan mata kepalanya sendiri."

"Aku nggak tau harus merasa bersyukur atau sebaliknya."

Gibran menatap sekilas Ara, menunggunya melanjutkan ucapannya.

"Satu sisi aku merasa bersyukur, Mama sudah bisa menerima kehadiranku dengan baik. Di sisi lain, aku takut nggak akan sesuai dengan ekspentasi Mama."

"Jangan pikirkan bagaimana ekspektasi Mama tentang kamu Ra, jangan pernah. Karena aku nggak akan suka jika sampai hal itu menjadi beban buat kamu." Gibran menatap langsung Ara saat mobilnya berhenti karena lampu merah. "Mama berubah pun karena apa adanya kamu. Jadi tolong, tetap jadi diri kamu sendiri. Aku mau kamu senyaman mungkin selama menjalani rumah tangga denganku."

Ara tidak bisa berkata apa-apa. Ia tiba-tiba ingin menangis dan memeluk erat Gibran.

Dulu, ia sempat berpikir jika pernikahannya tidak akan berhasil saat mendapati sikap Gibran yang cukup dingin padanya di awal perkenalan. Lalu mendapati Gibran bukanlah sosok yang taat dalam melakukan kewajibannya sebagai seorang Muslim membuat Ara semakin pesimis.

Namun, saat mencoba untuk mengingatkan dan Gibran tidak pernah protes dengan selalu mengerjakannya walau dengan malas-malasan membuat persepsi Ara perlahan sedikit berubah.

Bahkan sikap Gibran yang kadang jahil dan terbuka padanya membuat Ara mulai menikmati perannya sebagai seorang istri.

Mereka sama-sama ingin pernikahan mereka berhasil. Tapi selalu Gibran yang memiliki inisiatif lebih dulu agar semuanya bisa terwujud saat Ara masih terjebak dalam masa lalunya.

Kemudian saat pernikahan mereka sudah berjalan lebih dari setahun dengan Gibran yang semakin membuat nyaman Ara. Ara yakin, jika ia lebih berusaha lagi. Ia akan benar-benar bahagia. Dan bisa menjalani rumah tangga seperti yang di harapkannya.

"Kita makan dulu sebelum pulang, biar kamu nggak usah masak." Beritahu Gibran saat Ara merasa asing dengan jalan di sekelilingnya.

"Aku nggak apa-apa kok kalo harus masak. Malah kasihan Kak Gibran kalo sampe kelelahan. Besok juga harus kerja kan."

"Sama sekali nggak Ra. Malah nanti malam juga niatnya mau lembur."

"Kan, kita pulang saja ya Kak."

"Kamu nggak tanya aku lembur apa?"

"Memangnya apa?" Tanya Ara penasaran. "Nanti kalo nggak ngantuk, aku temani."

"Lemburin kamu, jadi wajib ditemani dong." Jawaban Gibran membuat Ara menyesal telah bertanya, karena kini wajahnya tiba-tiba terasa panas.

Sedang Gibran tergelak saat lagi-lagi berhasil menggoda istrinya itu.

Ara membalas dengan mencubit paha Gibran hingga membuatnya mengaduh kesakitan.

"Sakit Ra."

"Aku juga, malu."

*

Gibran mengucap syukur setelah merasa kenyang dengan satu porsi ayam taliwang dan pelecing kangkung. Sedang Ara hanya makan sedikit nasi serta lauk pesanan Gibran karena takut mual dan memuntahkan makanannya saat di perjalanan pulang nanti. Kadang ia masih merasa mual saat naik mobil. Ia belum begitu terbiasa.

"Mau jalan-jalan sebentar di pinggir pantai?" Tawar Gibran saat menyadari Ara beberapa kali melirik pantai Senggigi yang berada di seberang jalan restoran tempat mereka makan.

Ara mengangguk antusias.

Mana mungkin ia melewatkan kesempatan tersebut. Menikmati senja di pantai Senggigi adalah salah satu hal yang ingin Ara lakukan.

"Aku mau ke toilet sebentar, kamu tunggu di sini." Pesan Gibran saat mereka sudah berada di tepi pantai.

Ara menganggukkan kepala lalu duduk di atas pasir. Senyum menghiasi wajahnya saat melihat pemandangan indah di hadapannya. Matahari sebentar lagi akan tenggalam, lalu bias orange yang menghiasi langit benar-benar menarik perhatian Ara.

Biasanya ia hanya melihat dari kejauhan di ufuk timur saat menjelang magrib. Lalu saat melihatnya dari jarak sedekat sekarang, tidak membuat Ara membuang kesempatan dengan memotret beberapa kali pemandangan indah tersebut dengan kamera ponselnya.

Melihat hasil foto di ponselnya, tanpa sengaja tangan Ara menyentuh sebuah folder yang bahkan hampir Ara lupa keberadaannya. Sebuah folder yang berisi foto-foto candid Aji yang Ara ambil secara diam-diam. Aji tidak pernah suka di foto.

Ara menggeser layar ponselnya, mengamati foto Aji. Dan perasaan sedih serta rindu mulai menghampirinya, walau tidak sebanyak dulu.

Hal yang mulai Ara pahami, bahwa kini rindunya sudah terbagi pada sosok Gibran. Ara selalu merasa merindukan suaminya itu, terlebih saat mereka sedang tidak bersama.

Memantapkan hati, Ara mulai menghapus satu per satu foto yang dulu sering ia pandangi saat merindukan sosok Aji.

Sepertinya sekarang aku mulai bahagia dengan pernikahanku Ji.

Terima kasih sudah menjadi perantara pertemuanku dengan kak Gibran.

Aku harap kamu tenang di alam sana.

Ara memejamkan mata, mengirimkan do'a untuk laki-laki yang pernah menempati hatinya tersebut.

"Sedang apa?" Suara Gibran membuat Ara membuka mata lalu menoleh. Ia menggeleng kecil dengan senyum tipis sebagai balasan.

Lalu saat Gibran sudah duduk di sebelahnya, tanpa ragu Ara melingkarkan tangannya pada lengan Gibran. Menyandarkan kepalanya pada bahu yang entah sejak kapan terasa begitu nyaman untuknya.

Ketika Ara memulai kontak fisik lebih dulu, Gibran selalu merasa terkejut. Karena sangat jarang Ara melakukannya. Namun ia begitu menikmatinya.

Walau kini suatu hal mengganggu Gibran. Hal yang tidak bisa Gibran abaikan, yang mungkin bisa mengancam keutuhan rumah tangganya.

*

*

*

Nggak akan bosen buat ngucapin terima kasih untuk kalian yg selalu sabar menunggu ❤

.

Sabtu, 11 Juli 2020.

Hari Setelah Akad [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang