“Sakit..” lirih Ara saat kembali merasakan pusing serta mual. Ia sudah beberapa kali bolak-balik kamar mandi, tapi tidak sedikit pun yang bisa di keluarkan dari isi perutnya.
Mama yang menginap sejak semalam, menatap prihatin menantunya. Lalu beralih pada Gibran yang saat terlihat tengah menahan tawa, membuat Mama tak segan mencubit keras lengan putranya tersebut.
“Aduh Ma, sakit.” protes Gibran.
“Kamu, istri lagi kesakitan juga malah ketawa.”
“Kapan aku ketawa?”
“Kamu pikir Mama nggak lihat, dari tadi kamu terus nahan tawa begitu.”
Kali ini Gibran terkekeh pelan. “Abis Ara lucu begini kalo lagi sakit. Merengek terus kayak anak TK.”
“Ya namanya juga lagi kesakitan.” bela Mama.
Walau begitu, Gibran tidak henti-hentinya memijit kepala Ara yang kini berbantal pahanya. Kadang pijitannya berpindah pada bagian belakang leher sang istri.
Sempat merasa ragu atas kehamilannya karena tidak menunjukkan tanda-tanda hamil seperti kebanyakan orang pada umumnya, kini keraguan Ara hilang sudah. Seminggu setelah memeriksa ke Dokter, ia mulai mengalami morning sick.
"Mama buatin teh hangat ya?" tawar Mama.
"Nggak usah Ma, nanti biar Ara buat sendiri saja." jawab Ara lemah.
Mama menghela nafas, paham betul jika menantunya tersebut merasa sungkan.
"Bisa berhenti sungkan sama Mama dan menganggap Mama seperti orang tua kamu sendiri?" pinta Mama, nada jengkel yang terselip saat mengatakannya membuat Ara menatap langsung wajah sang mertua dengan takut-takut. "Mama sadar sikap Mama sebelumnya membuat kamu mungkin membenci Mama. Tapi, bukankah Mama sudah minta maaf?"
"Bu—bukan begitu Ma." Ara berusaha bangun dengan mata yang berkaca-kaca, Mama jelas salah paham. "Ara nggak pernah benci sama Mama. Ara juga sudah menganggap Mama seperti orang tua Ara sendiri. Ara minta maaf kalau Ara membuat Mama tersinggung dan marah dengan sikap Ara." jelas Ara, lalu menghapus cepat airmata yang mengaliri pipinya.
Kali ini giliran Gibran yang menghela nafas. Lihatlah, tadi Mamanya mencubitnya hanya karena berusaha menahan tawa saat melihat Ara merengek seperti anak kecil. Dimana itu merupakan hal baru yang Gibran tahu dari tingkah laku istrinya jika sedang sakit begini.
Tapi kini, malah Mamanya sendiri yang membuat Ara menangis. Atau karena hormon kehamilan saja yang membuat Ara menjadi cukup sensitif dan mudah menangis seperti sekarang.
"Ma..." tegur Gibran lembut, sekaligus meminta agar Mama memaklumi sikap Ara dari tatapannya.
Mama mengangguk kecil, lalu mendekati Ara. "Aduh, kok jadi nangis begini. Mama yang salah, yang salah paham sama kamu. Mama minta maaf ya?"
"Ara yang salah kok Ma, sikap Ara buat Mama tersinggung."
"Bukan.." Mama menghela nafas, kemudian mengelus lembut perut Ara. "Mama cuma khawatir sama kamu, dari tadi muntah terus. Kasihan cucu Mama juga di dalam sini kalau nggak dapat asupan."
"Maaf..."
"Kan, malah minta maaf lagi. Sudah, Mama buatkan teh dulu." kata Mama berlalu menuju dapur.
Kali ini Ara tidak menolak. Ia mengusap kembali pipinya yang basah, elusan serta tepukan pelan Gibran pada punggungnya cukup bisa membuatnya merasa tenang.
"Perasaan dari tadi kak Gibran senyum senyum ketawa terus." heran Ara saat melirik sekilas pada Gibran.
Senyum di wajah Gibran semakin melebar, "Lucu saja lihat kamu ternyata bisa jadi cengeng dan manja begini. Karena Ara yang aku lihat salama ini itu kuat dan sabar banget." papar Gibran, masih dengan senyum di wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Setelah Akad [ SELESAI ]
RomanceKetika Gibran dan Ara berusaha menjalani aktivitas rumah tangga pada umumnya walau tanpa di dasari cinta, alasan yang seharusnya sebagian besar pasangan miliki untuk menikah. Sejak awal Gibran dan Ara berusaha menjadi suami dan istri yang baik. Namu...