XXVII [ SELESAI ]

9.1K 464 65
                                    

"Kak Gibran kenapa bangun? Kakak sedang sakit."

"Aku udah baikan Ra."

Ara menyentuh sisi leher Gibran dengan punggung tangannya. Lalu bernapas lega saat apa yang Gibran katakan benar adanya. Panasnya sudah turun. Walau belum mencapai suhu normal.

"Ya udah, kak Gibran masuk aja. Aku mau selesaiin nyiram tanamannya dulu."

Gibran menggeleng, "Biarin aja, bisa di siram lagi nanti. Sekarang ada yang perlu aku bicarain sama kamu. Ayo masuk."

Ara tidak bisa menolak, karena setelah mematikan keran Gibran menggandeng tangannya untuk masuk ke dalam rumah.

"Mata kamu kenapa bengkak begini?" Tanya Gibran saat mereka sudah duduk di sofa ruang tamu.

Ara terlihat bingung mau menjawab apa, "Nggak kenapa-kenapa kok kak."

"Nggak kenapa-kenapa kok bisa bengkak begini?" Mata Gibran memicing menatap Ara. Namun istrinya itu terlihat tidak ingin menjawab.

Tidak ingin memaksa Ara, Gibran membiarkan. Dan ingin segera memulai pembicaraan yang sudah ia pikirkan beberapa hari terakhir.

"Apa kamu bahagia dengan pernikahan kita?" Pertanyaan Gibran membuat Ara yang sedari tadi menunduk karena malu dengan matanya yang bengkak, kini langsung mengangkat wajah dan memandang Gibran.

Apa maksud Gibran tiba-tiba bertanya tentang hal itu padanya?

Gibran tidak sedang mencari alasan untuk berpisah kan?

Memikirkannya membuat dada Ara terasa sesak. Lalu beristigfar dalam hati.

Sudah cukup ia seudzon pada Gibran.

Mungkin ini juga waktu yang tepat untuknya berterus terang dengan perasaannya dan menanyakan juga bagaimana perasaan Gibran padanya.

"Tentu, tentu aku merasa bahagia."

Mendengar itu, Gibran tidak ingin merasa senang dulu.

"Aku harap kamu nggak sedang berbohong. Karena beberapa hari lalu, aku melihatmu memandang foto-foto Aji." Gibran mengatakannya dengan tenang. "Aku bahkan nggak menyangka, kamu masih menyimpan foto-fotonya."

Ara belum mampu membalas perkataan Gibran.

Apa mungkin perubahan sikap Gibran beberapa hari ini karena hal itu?

Ia melihat Ara memandang foto Aji di pantai Senggigi waktu itu?

Jadi bukan salah Gibran jika tiba-tiba mendiami Ara. Karena kini Ara sadar, ia telah melakukan kesalahan. Dan ia merasa malu.

"Maaf." Gumam Ara dengan kepala yang kembali menunduk.

"Harusnya kamu katakan, jika kamu belum sepenuhnya menerima pernikahan kita. Kenapa menahan diri?"

Ara menggeleng dengan air mata yang mengenang. Ia tahu, ia salah. Tapi Gibran jelas salah paham.

"Sekarang aku tanya lagi, apa kamu bahagia dengan pernikahan kita?"

Ara menangis terisak tanpa menjawab.

"Aku bisa memberimu waktu, jika kamu memang membutuhkannya untuk menemukan jawaban atas pertanyaanku." Gibran menangkup wajah Ara, mengangkatnya agar menatapnya. "Aku hanya nggak mau kamu merasa tertekan. Kamu masih sangat muda untuk terjebak dalam pernikahan yang nggak di awali dengan cinta. Aku nggak akan memaksa kamu, aku---"

"Aku nggak mau pisah sama kak Gibran." Potong Ara, terdengar begitu pasti. Membuat Gibran tertegun.

Pisah?

Hari Setelah Akad [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang