XIV

4.3K 343 18
                                    

Gibran terbangun ketika mendengar Ara menggumam dalam tidurnya dengan tubuh yang menggigil kedinginan, membuat laki-laki itu panik.

"Ara!" Panggil Gibran menepuk-nepuk pelan pipi istrinya.

"Di---ngin banget kak." Gumam Ara dengan gigi bergemeletuk.

Tanpa pikir panjang, Gibran membuka bajunya dan beralih pada baju yang Ara kenakan.

"Kak Gibran mau ngapain?" Lirih Ara panik dengan keadaan setengah sadar.

"Diam Ra." Tegas Gibran saat tangan lemah Ara menghalangi Gibran membuka kancing bajunya.

Setelah berhasil membuka seluruh kancing baju Ara dan menyisakan dalamannya saja. Gibran berbaring disebelah Ara, memeluk erat istrinya itu dengan dua selimut yang membungkus tubuh keduanya. Berharap hangat tubuhnya bisa mengurangi rasa dingin yang tengah dirasakan istrinya itu.

Waktu menunjukkan pukul 23.45 saat Ara membuka mata dan menemukan Gibran tertidur dengan tubuh yang memeluknya erat, membuat pipi Ara memerah.

Dengan pelan, ia melepas pelukan Gibran kemudian mencari bajunya yang Gibran lepas tadi dan segera memakainya.

"Kak, kak Gibran." Panggil Ara membangunkan Gibran.

"Kenapa Ra." Gumam Gibran dengan mata yang masih tertutup rapat.

"Ini sudah hampir jam 12, ayo bangun. Kita lanjutkan mendaki ke puncak Rinjani biar nanti bisa liat sunset." Beritahu Ara. Ia merasa jika keadaannya sekarang sudah cukup baik.

Tidak seperti beberapa jam lalu saat tubuhnya menggigil kedinginan. Sepertinya hangat tubuh Gibran bekerja baik pada tubuhnya.

"Kak." Panggil Ara lagi sembari memperbaiki selimut yang Gibran pakai, agar suaminya yang bertelanjang dada itu tidak kedinginan.

"Kita lanjutin besok saja Ra. Cuacanya dingin banget. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa lagi." Ucap Gibran yang perlahan membuka mata kemudian duduk menghadap istrinya.

"Aku sudah baik-baik saja kak. Coba lihat." Ara menempelkan telapak tangan Gibran yang terasa dingin di kening Ara yang hangat.

"Tapi---"

"Ayo kak, ini mungkin akan menjadi pertama dan terakhir kalinya aku bisa melihat sunset di puncak gunung Rinjani."

Melihat wajah memelas istrinya, Gibran akhirnya luluh. Mereka kemudian bangun untuk bersiap-siap.

"Kita sholat tahajud sebelum lanjutin perjalanan ya." Ajak Gibran yang langsung dibalas anggukan Ara disertai senyum lebar.

Mereka berjalan menuju danau Segara Anak dengan Gibran yang berjalan lebih dulu sembari memegang senter. Dibelakangnya, Ara manatap punggung Gibran dengan senyum yang tidak pernah pudar dari wajahnya.

Ara bersyukur, sangat bersyukur. Karena perlahan Ara merasa jika Gibran sudah bisa menjadi imam yang baik dalam rumah tangga mereka. Ara tidak perlu lagi mengirimi pesan disetiap waktu sholat, atau bahkan menegur Gibran saat dirumah.

Gibran melakukannya tanpa pesan dan teguran Ara lagi. Mungkin karena suaminya itu sudah terbiasa atau bahkan mulai mengerti hukum-hukum jika meninggalkan kewajibannya.

Dari yang Ara lihat, sejujurnya Gibran bukanlah orang yang tidak mengerti atau kurang pemahaman tentang ilmu Agama. Ia hanya malas, atau mungkin mengalami suatu hal yang membuatnya jauh dari ajaran-ajaran tersebut.

"Aduh." Ara meringis saat merasakan kakinya tersandung sesuatu yang besar dan terasa keras, batu.

"Kenapa Ra?" Tanya Gibran panik menghampiri Ara yang duduk jongkok.

Hari Setelah Akad [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang