Ke esokan harinya setelah menginap 3 malam di Rumah Sakit, Bapak Ara di izinkan pulang setelah melewati beberapa pemeriksaan.
Di rumah, Ara kembali meminta Bapak untuk lebih banyak beristirahat. Begitupun dengan Ibunya, mengingat kualitas tidur di Rumah Sakit tidak akan sama dengan di rumah sendiri. Walau senyaman apapun ruang VIP yang mereka tempati.
"Ibu kok nggak tidur?" Tanya Ara saat mendapati Ibunya menghampiri dan duduk di sofa yang berada di depannya.
"Nggak ngantuk Ra."
"Terus mau ngapain?"
"Ya nggak ngapa-ngapain. Ibu mau ngobrol sama kamu. Kan jarang-jarang bisa ke sini."
Mendengar itu, Ara tiba-tiba merasa sedih. Ia bangkit untuk pindah duduk di dekat Ibunya, lalu memeluk Ibu dari samping, menyandarkan kepalanya pada bahu wanita yang telah melahirkannya itu.
"Maafin Ara ya Bu."
"Kok minta maaf?"
"Mungkin seharusnya Ara nikahnya nanti-nanti. Biar bisa punya waktu lebih banyak dengan Ibu sama Bapak, bisa merawat kalian."
Hal yang beberapa waktu lalu membuat Ara sedih. Ketika ia rela meninggalkan orang tua yang sudah susah payah merawat dan membesarkannya untuk menikah dengan Gibran. Lalu mendapat perlakuan yang cukup tidak menyenangkan dari Ibu laki-laki itu, seolah ia tidak di terima. Membuat hati Ara terluka.
Namun sepertinya, sekarang semuanya telah berlalu. Ia yakin Mama mertuanya perlahan berubah. Terbukti dari percakapan terakhir mereka di lobi Rumah Sakit kemarin.
"Hush. Kamu ngomong apa sih. Ibu sama Bapak malah bersyukur kamu nikah. Karena artinya Ibu sama Bapak sudah berhasil membesarkan dan merawatmu hingga bisa menjadi sosok seorang istri. Mampu melepas tanggung jawab kami untuk di serahkan ke orang lain. Dan Ibu benar-benar besyukur kamu mendapatkan suami seperti Gibran. Dia anak yang baik."
Tanpa sadar, air mata Ara menetes. Dulu sebelum menikah, ia tidak pernah sedekat ini dengan Ibunya. Apalagi terlibat percakapan semacam ini. Tapi sekarang lihatlah.
Mungkin karena intesitas pertemuan mereka yang dalam satu tahun bisa di hitung jari. Jadi mengobrol dan saling mengungkapkan apa yang di rasakan jadi terasa lebih mudah, karena rindu.
"Iya Bu, kak Gibran baik banget sama Ara."
"Alhamdulillah."
"Kamu belum hamil Ra?" Tanya Ibu setelah keheningan beberapa saat.
Ara menggeleng, "Do'ain aja ya Bu, semoga cepat-cepat di kasih sama Allah."
"Aamiin. Emang kamu nggak pake KB."
"Nggak Bu."
"Lama juga ya isinya, padahal sudah setahun lebih loh."
Ara diam, tidak membalas ucapan Ibunya.
Ia memang sudah lama menikah, tapi memulai proses untuk membuat bayinya baru beberapa minggu lalu kan.
Suara pintu yang di ketuk membuat Ara melepas pelukannya lalu membuka pintu.
"Assalamu'alaikum."
"Walaikumussalam. Kak Gibran? Cepat banget sampai sininya. Perasaan baru tadi kak Gibran bilang mau berangkat dari rumah." Kata Ara cukup terkejut, saat mendapati kedatangan Gibran yang ingin menjemputnya.
"Iya, soalnya jalanan lengang."
Gibran memeluk erat Ara, membuat istrinya itu tersentak.
"Kangen banget Ra. Di rumah nggak ada yang nemenin, nggak ada yang nungguin pas pulang kerja, nggak ada yang masakin juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Setelah Akad [ SELESAI ]
RomanceKetika Gibran dan Ara berusaha menjalani aktivitas rumah tangga pada umumnya walau tanpa di dasari cinta, alasan yang seharusnya sebagian besar pasangan miliki untuk menikah. Sejak awal Gibran dan Ara berusaha menjadi suami dan istri yang baik. Namu...