XIII

4.3K 357 18
                                    

Usia sholat subuh berjamaah kemudian sarapan bersama, Gibran dan Ara berpamitan pada Ibu dan Bapak untuk berangkat menuju Sembalun sekitar pukul 05.30 WITA.

"Tadi kak Gibran ngapain sampai Ibu ngucapin terimakasih dengan mata berkaca-kaca ke kak Gibran?" Tanya Ara saat mereka dalam perjalanan.

Pasalnya, sebelum berangkat tadi Ara melihat Gibran dan Ibu bicara berdua. Saat Ara melayangkan tatapan tanya, Gibran hanya mengangkat bahu. Membuat rasa penasaran memenuhi kepalanya.

"Nggak ngapa-ngapain kok Ra." Jawab Gibran dengan pandangan fokus ke jalanan.

"Mulai main rahasia-rahasian ya?" Ujar Ara cemberut. Melihat tingkah istrinya, Gibran menghela nafas. Memutuskan memberitahu Ara sesuatu yang menurutnya tidak begitu penting itu.

"Aku cuma ngasih Ibu sedikit uang untuk belanja Ra, terus Ibu bilang terimakasih. Nggak ngapa-ngapain lagi terus." Jelas Gibran membuat Ara menatapnya tidak percaya.

Ara tidak tahu jika Gibran bisa seperhatian itu terhadap orangtuanya. Setelah tadi malam memeriksa kesehatan Ibu dan Bapak, Gibran juga memberikan uang untuk Ibunya pagi tadi.

Ara tersenyum, kemudian mencodongkan tubuhnya ke arah Gibran. Tinggal beberapa senti bibirnya menyetuh pipi Gibran, tubuh Ara tertahan sealt bet yang lupa ia buka.

Tepat saat lampu merah, Gibran memutar kepalanya menghadap wajah Ara yang terlihat sangat dekat dengan wajahnya sekarang.

"Mau ngapain?" Tanya Gibran dengan kedua alis terangkat.

Ara tersenyum kikuk, kemudian buru-buru menarik tubuhnya kembali duduk seperti semula.

"Ditanya kok malah diam?" Tanya Gibran lagi dengan tawa yang ia tahan mati-matian karena tidak ingin menambah rasa malu istrinya itu. Ia rasa ia tahu apa yang ingin Ara lakukan tadi.

"Ng---gak mau ngapa-ngapin kok kak. Tadi itu cuma baca tulisan di toko yang kita lewatin yang ada disebelah kanan jalan. Tulisannya nggak begitu jelas, makanya tubuh aku condong begitu biar tulisannya keliatan jelas." Jawaban tidak masuk akal Ara.

"Yakin?" Goda Gibran.

"Iya ih. Itu lampunya sudah hijau." Seru Ara, menyamarkan rasa malu yang tengah ia rasakan.

Tidak ingin menambah warna merah di wajah istrinya, Gibran kembali fokus pada setirnya.

Dua jam kemudian mereka sampai di Sembalun, jalur pertama yang mereka pilih untuk mendaki. Gibran memarkir mobilnya di area khusus parkir, lalu mengeluarkan ransel berisi kebutuhan mereka saat mendaki nanti.

Saat berjalan menuju tempat pengisian buku tamu, Gibran tiba-tiba mengecup sekilas pipi Ara.

"Kak Gibran ngapain?!" Pekik Ara dengan mata melebar.

"Itu yang mau kamu lakuin pas sebelum lampu merah tadi kan?" Selidik Gibran dengan mata memicing. Membuat Ara terlihat kaget, bagaimana Gibran bisa tahu.

"Nggak ih. Kak Gibran kepedean banget." Elak Ara mengibaskan tangannya dan berjalan lebih dulu. Ia menggigit bibirnya menahan malu saat mendengar suara tawa Gibran dibelakangnya.

"Kak Gibran buruan tulis data dirinya." Ujar Ara menunjuk buku khusus untuk tamu yang ada didepannya. Buru-buru Ara mengalihkan pandangan saat tatapannya bertemu dengan mata Gibran.

"Kenapa bersikap menggemaskan ditempat umum seperti ini sih Ra. Coba dirumah, jadi bisa-----aw." Gibran tidak bisa menyelesaikan bisikannya karena cubitan Ara pada pingganggnya.

"Cepetan kak, ada banyak orang yang mengantri."

Menyadari tatapan banyak orang tertuju pada mereka, Gibran dan Ara menggumamkan maaf kemudian menyelesaikan menulis data diri mereka. Setelah menerima tiket masuk, Gibran dan Ara melanjutkan perjalanannya.

Hari Setelah Akad [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang