XII

4.2K 360 21
                                    

"Assalamu'alaikum."

"Wa'laikumussalam."

Seorang wanita paruhbaya terlihat tergopoh-gopoh menghampiri ruang tamu.

"Ara, Gibran. Kenapa nggak bilang-bilang mau kesini?" Sambut Ibu. Gibran dan Ara bergantian mencium punggung tangan wanita paruhbaya itu.

"Iya Bu. Ara kesini cuma mau menginap semalam saja." Terang Ara.

"Gibran juga mau menginap?" Tanya Ibu.

"Iya Bu."

"Maaf ya Bran, rumah Ibu kecil." Ibu tersenyum sungkan.

"Ya ampun, nggak apa-apa Bu. Besar kecilnya rumah tergantung pada kenyamanannya. Percuma punya rumah besar kalau nggak nyaman untuk di tinggali. Rumah Ibu adem, deket sawah begini." Komentar Gibran jujur, berharap bisa mengurangi rasa sungkan Ibu mertuanya.

"Kalau gitu Ibu siapin kamarnya Ara dulu ya."

"Biar aku saja Bu." Cegah Ara, berlalu menuju kamarnya dulu sebelum menikah. Meninggalkan Ibu dan Gibran di ruang tamu.

"Gibran mau makan Ubi? Tadi habis Ibu kukus di dapur." Tawar Ibu.

"Boleh Bu." Ujar Gibran dengan senyum hangat.

"Tunggu sebentar ya, Ibu ambilkan."

Gibran mengangguk.

Sedangkan di dalam kamar, Ara menatap kasur kecil khusus satu orang yang dulu menjadi tempat ternyamannya itu. Berpikir bagaimana caranya agar ia dan Gibran muat tidur disana.

Jika hanya Ara yang menempati, kasur itu masih menyisakan sedikit tempat kosong. Namun jika Gibran, Ara yakin tubuh besar suaminya itu akan terlihat pas-pasan. Bahkan mungkin kakinya akan melewati batas kasur.

"Ya sudah sih, nanti kalau nggak muat kan bisa tidur dibawah." Gerutu Ara pada dirinya sendiri karena tidak menemukan solusi untuk kasur miliknya.

Setelah menyapu dan merapikan beberapa tempat yang terlihat berantakan, Ara kembali ke ruang tamu. Dan menemukan Ibu dan Gibran tengah menikmati Ubi kukus yang terlihat masih hangat.

"Bapak mana Bu?" Tanya Ara begitu mendudukkan tubuhnya.

"Belum pulang dari sawah." Jawab Ibunya.

"Ini kan sudah mau maghrib." Ada rasa sedih yang Ara rasakan saat Bapaknya yang sudah lanjut usia masih sibuk bekerja untuk mencari nafkah.

Andai saja dulu Bapaknya sedikit peduli pada pendidikan anak-anaknya, mungkin mereka bisa membantu perekonomian keluarga setelah mendapat pekerjaan yang layak.

Menikah dengan orang dari kalangan berada tidak membuat Ara semena-mena bisa mengamburkan uang untuk keluarganya. Ia perlu izin Gibran, dan ia belum berada pada tahap yang membuatnya berani meminta izin untuk hal itu pada suaminya.

"Sebentar lagi pulang kok."

Tidak lama setelah itu terdengar suara seseorang yang memasuki rumah.

"Loh, kalian kapan datang?" Tanya Bapak begitu memasuki ruang tamu.

"Tadi Pak." Jawab Gibran sembari mencium punggung tangan Bapak yang diikuti oleh Ara.

"Ya sudah, dilanjutkan makan Ubi nya. Bapak mau bersih-bersih dulu. Baru pulang dari sawah." Beritahu Bapak yang dibalas anggukan putri dan menantunya.

○○○

Bapak, Ibu, Gibran dan Ara kembali berkumpul diruang tamu setelah menyelesaikan makan malam mereka.

Hari Setelah Akad [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang