XXV

4.4K 345 27
                                        

Ada yang aneh dari Gibran seminggu belakangan ini. Ia menjadi lebih pendiam, tidak lagi suka menjahili Ara. Gibran menjadi sosok seperti yang Ara kenal saat mereka baru menikah dulu.

Walau begitu, Ara tetap berusaha bersikap seperti biasanya. Ia masih belum berani untuk bertanya.

Mungkin suaminya itu sedang ada masalah atau punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Hingga membuatnya tanpa sadar mengacuhkan Ara.

"Kak Gibran nggak makan malam?" Tanya Ara saat menyusul Gibran masuk ke dalam kamar. Gibran belum keluar semenjak pulang dari Rumah Sakit sejam yang lalu.

Gibran mengangkat wajah, mengalihkan perhatiannya dari lembaran kertas yang berisi diagnosa beberapa pasiennya.

"Tadi aku sudah makan dengan Riris dan Gio. Maaf, aku lupa kasih tahu kamu."

"Padalah aku udah masakin makanan kesukaan kak Gibran." Gumam Ara kecewa.

"Simpan saja, bisa di hangatkan untuk sarapan besok." Lalu Gibran kembali sibuk dengan kertas-kertas yang berada di pangkuannya.

Menghela nafas, Ara keluar dari kamar dan segera membereskan meja makan.

Gibran mengatakan sudah makan dengan Riris dan Gio. Riris?

Gibran ternyata masih sedekat itu dengan wanita di masa lalunya hingga menjadi hal yang biasa saat mereka makan bersama.

Dan entah kenapa, mengetahui hal tersebut membuat Ara tiba-tiba merasa sedih sekaligus takut.

Gibran tidak mungkin mengecewakannya saat ia baru saja mulai menaruh kepercayaan pada suaminya itu serta harapan lebih untuk pernikahan mereka.

Beristigfar, Ara mencoba menghapus pikiran buruk yang baru saja memenuhi kepalanya.

Jika Gibran memang ingin bertingkah, harusnya bisa ia lakukan sejak dulu. Untuk apa berusaha membuat Ara merasa nyaman padanya terlebih dahulu. Hanya membuang waktu bukan.

Lalu saat kembali masuk ke dalam kamar, Ara mendapati Gibran tengah memasang kemejanya. Bersiap untuk keluar rumah.

"Mau kemana?" Tanya Ara.

Gibran melirik sekilas Ara sebelum kembali sibuk dengan kancing kemejanya.

"Ada telepon dari Rumah Sakit, aku harus pergi."

Ara mengerti, ada pasien yang membutuhkan Gibran.

"Jangan menungguku pulang, tidurlah lebih dulu. Assalamu'alikum." Pesan Gibran sebelum berlalu pergi.

Tidak ada ciuman di kening yang biasanya selalu Ara dapatkan setiap kali Gibran akan berangkat kerja. Membuat matanya terasa panas.

Sekarang Ara benar-benar ingin menangis.

Gibran berubah. Dan apa yang bisa ia lakukan?

*

Gibran membuka jas Dokter yang melapisi kemejanya, kemudian duduk dan bersandar pada kursi di ruang kerjanya.

Melirik jam di pergelangan tangannya, Gibran menghembuskan nafas kasar.

Sudah hampir jam 12 malam, dan ia kepikiran Ara. Tadi ia tidak mengatakan banyak hal sebelum pergi, bahkan lupa memberikan ciuman saking buru-burunya.

Gibran ingin pulang, tapi harus menunggu hasil pemeriksaan pasiennya beberapa jam lagi. Pasien tersebut juga harus tetap ia pantau, setidaknya sampai ia mendapatkan hasil tes dan memberikan tindakan yang tepat.

Lagi, hembusan nafas kasar terdengar dari mulut Gibran. Sebelum ia memutuskan untuk menelepon Ara.

"Sudah tidur?" Tanya Gibran begitu Ara mengangkatnya.

Hari Setelah Akad [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang