XVII

4.7K 380 25
                                    

Padahal ya, akutu maunya update part ini nanti2. Tapi berhubung mlm minggu, aku up skrg aja untuk menemani para jomblo fisabilillah 😆

Awas, jangan baper!!!

○○○

Usai sholat maghrib berjamaah, Gibran dan Ara memutuskan untuk pulang walau acara masih berlangsung hingga jam sembilan malam nanti.

Selama diperjalanan pulang keheningan menyeliputi mereka, tidak ada yang berniat membuka pembicaraan. Gibran sibuk dengan setirnya dan Ara sibuk memikirkan ucapan Gibran tentang melanjutkan pendidikannya yang laki-laki itu singgung tadi.

Ara ingin bertanya, tapi ia terlalu malas dan memutuskan untuk menunggu Gibran membahasnya lebih dulu.

Hingga sampai rumah, mereka masih saling mendiami dan masuk kamar mandi untuk membersihkan diri secara bergiliran. Saat Ara memutuskan untuk tidur, Gibran menahannya.

"Ada yang ingin aku bicarakan." Ucap Gibran.

Ara yang hendak membaringkan tubuh mengurungkan niatnya dan kembali duduk menghadap Gibran yang terlihat serius.

"Tentang melanjutkan kuliah. Aku harap kamu mau memikirkannya, biar nanti aku yang membiayai."

Entah kenapa Ara malah merasa sedih saat mendengar permintaan Gibran. Dulu, Ara memang sangat ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tingga agar bisa menggapai cita-citanya.

Namun kini saat ia sudah berstatus sebagai seorang istri, rasanya cita-cita itu menguap begitu saja. Ada hal lain yang ia ingin gapai.

"Apa harus?" Lirih Ara.

"Maksud kamu?" Tanya Gibran bingung.

"Apa aku harus melanjutkan kuliah? Kak Gibran malu ya punya istri yang hanya tamatan SMA?"

Pertanyaan Ara cukup mengejutkan bagi Gibran.

"Bagaimana bisa kamu berpikir begitu Ra? Aku hanya bermaksud melakukan kewajiban aku sebagai seorang suami. Harusnya aku membicarakan hal ini sama kamu sedari dulu. Kamu masih muda, aku hanya ingin membantu jika memang kamu ingin mengejar impian yang mungkin ingin kamu gapai." Terang Gibran menghembuskan nafas kasar. Masih tidak habis pikir bagaimana bisa Ara menuduhnya malu memiliki istri yang hanya lulusan SMA.

Jika Gibran menilai Ara dari jenjang pendidikannya, mungkin ia tidak akan meminta Ara menjadi istrinya.

"Maaf, aku pikir kak Gibran mungkin---"

"Aku nggak akan maksa kamu Ra, aku hanya menawarkan. Keputusan sepenuhnya ada ditangan kamu." Kata Gibran lembut saat mendapati Ara yang menunduk tidak berani menatapnya.

"Apa nggak apa-apa kalau aku lebih memilih tidak melanjutkan kuliah. Aku takut nggak bisa membagi waktu untuk menjadi seorang istri sekaligus mahasiswa di waktu bersamaan. Sebelum menikah aku memang memiliki harapan besar untuk melanjutkan pendidikan agar bisa membantu serta membuat bangga kedua orangtuaku. Tapi kini, aku hanya ingin menjadi istri serta Ibu yang baik untuk anak-anakku kelak. Aku tahu pendidikan sangatlah penting dan sebagai perempuan yang kelak akan menjadi Ibu, aku akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anakku. Tapi satu-satunya pendidikan yang ingin aku dalami saat ini adalah pendidikan Agama yang mungkin bisa aku pelajari dari menghadiri kajian-kajian atau menonton lewat youtube, agar aku bisa memastikan jika kelak anak-anakku akan tumbuh dengan akhlak yang baik serta----"

Gibran tidak membiarkan Ara melanjutkan ucapannya dengan menyatukan bibir mereka. Ia mengecup dalam bibir yang tadi mengucapkan kata-kata yang membuat hatinya bergetar. Hingga tidak bisa menahan gejolak yang selama ini ia tahan dengan baik.

Sedang Ara yang menerima serangan tiba-tiba Gibran hanya bisa membulatkan mata dengan nafas yang tanpa sadar ia tahan. Otaknya mendadak blank. Ini ciuman pertamanya dan ia tidak bisa mendiskripsikan bagaimana rasanya. Yang jelas saat ini jantungnya berdetak begitu keras hingga ingin keluar dari tempatnya. Ia bahkan bisa merasakan jika seperti ada sesuatu yang menggelitik perutnya.

Gibran menjauhkan wajahnya dan memandang dalam serta lembut Ara yang terlihat masih begitu terkejut akan tindakannya.

"Terimakasih, terimakasih karena sudah memiliki niat sebaik itu. Aku sangat sangat bersyukur memiliki istri sepertimu. Aku akan mendukung jika memang kamu nggak mau melanjutkan pendidikan dan memilih peran sebagai istri dan Ibu yang baik. Dan untuk ilmu Agama, kita bisa sama-sama belajar. Sama-sama pergi menghadiri kajian. Tapi apa tadi itu, 'anak-anakku'?" Sebelah alis Gibran terangkat dengan tangan yang menangkup kedua pipi Ara. "Anak kita sayang, anak-anak kita kelak. Bukan hanya anakmu." Kata Gibran dengan senyum menawan yang mampu menghipnotis Ara hingga membuat pipinya merona merah akan panggilan sayang yang baru pertama kali ini Gibran ucapkan untuknya.

Dari sekian banyak perempuan yang pernah menghabiskan waktu bersamanya, hanya Ara yang mampu membuat perasaannya campur aduk seperti sekarang. Hangat, bahagia, terharu, bangga dan sedih bercampur menjadi satu.

"Tapi Ra, untuk menjadi seorang Ibu itu membutuhkan proses. Apa kamu siap memulai prosesnya?" Tanya Gibran serius dengan tatapan lembut miliknya.

Menyadari maksud ucapan Gibran, Ara terlihat berpikir keras dengan jantung yang bertalu-talu. Hingga perlahan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Mungkin ini saat ia menunaikan salah satu kewajibannya sebagai seorang istri. Selama ini Gibran telah begitu sabar menunggu hingga hampir setahun pernikahan mereka.

Gibran masih bertahan dengannya dan begitu setia saat disekelilingnya banyak perempuan-perempuan yang jauh lebih menarik dibanding dirinya.

Ara harap dirinya mengambil keputusan yang benar dan tidak menyesal dikemudian hari. Atau mungkin tidak, tidak akan pernah ada kata menyesal karena biar bagaimanapun juga ini salah satu tugasnya. Serta hak Gibran sebagai seorang suami yang dengan berani menggantikan tanggungjawab orangtuanya.

Senyum terukir diwajah Gibran dengan tangan yang mengelus lembut pipi Ara.

"Kita sholat dulu." Ajak Gibran dan lebih dulu mengambil wudhu dikamar mandi.

Begitu Gibran keluar, Ara langsung masuk dan ikut mengambil wudhu dengan jantung yang masih berdetak keras. Ia berpegangan pada dinding saat merasakan lututnya tiba-tiba melemas.

Astaga. Kami bahkan belum ngapa-ngapain. Tapi kenapa reaksi tubuhku udah kayak gini. Batin Ara.

Ia segera memakai mukena saat mendapati Gibran sudah bersiap diatas sajadahnya.

Mereka melakukan sholat sunah dua rakaat dengan khusyuk.

Begitu selesai, Gibran dan Ara merapikan sajadah, mukena, dan sarung yang mereka gunakan.

Gibran menggandeng tangan Ara menuju ranjang untuk duduk berhadap-hadapan dan meletakkan telapak tangannya pada ubun-ubun istrinya.

"Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiat yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekanya dan kejelekan tabiat yang ia bawa. Berikanlah keberkahan pada kami satu sama lain untuk pasangan kami." Do'a Gibran yang membuat setetes airmata mengaliri pipi Ara.

Gibran mengecup dalam ubun-ubun Ara, kemudian turun ketelinganya. "Aku akan pelan-pelan." Bisiknya sebelum memulai malam yang seharusnya ia nikmati beberapa bulan lalu sebagai sepasang suami istri.

Eeeaaaaaaaaaaaa.
Akhirnya ya, akhirnya 😄😄😄

Gimana? Sampe sini cukup kali ya ceritanya?

Follow ig, d.blossom08 dong gaesss
Mungkin kita bisa sharing2 cerita disana 😊

.

Sabtu, 14 September 2019.

Hari Setelah Akad [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang