Seminggu setelah insiden di taman belakang, semuanya perlahan-lahan berubah. Dara jadi lebih sibuk dengan urusan kantornya. Raga tak ketinggalan, ia seperti menjaga jarak dengan Allamanda. Alibi andalannya jika ditanya tentang perubahan sikapnya, adalah kesibukannya menyusun skripsi. Allamanda hanya bisa mengangguk saat itu. Ia mencoba memahami dan membiasakan diri dikurung rasa sepi. Seperti kali ini, setelah pulang sekolah, Allamanda hanya duduk termenung di tepi kasur. Rumahnya benar-benar senyap seolah tidak ada makhluk hidup di dalamnya. Allamanda menghela nafas berat, ia meraih sebuah novel yang berada di sampingnya, memilih membaca sebagai pengalih rasa sepi.
Perlahan, rasa sepi yang sedaritadi mengganggunya, lama-kelamaan mulai menghilang begitu saja. Allamanda telah masuk ke dalam ruang khayalnya saat, suara yang seolah tercipta dari gesekan batu dan kaca terdengar begitu jelas di telinganya. Allamanda menoleh, memandang ke arah jendela dan kembali pada novelnya saat suara itu terdengar lagi. Allamanda mencoba mengabaikannya, namun semakin diabaikan suara itu semakin sering berbunyi. Kesal, Allamanda meletakkan novelnya dan beranjak menuju jendela kamarnya. Ketika dibuka, terdapat beberapa kerikil yang terletak di bawah kakinya. Ia berjalan menuju balkon yang terhubung dengan kamarnya. Di bawah sana, berdiri laki-laki bertubuh tinggi tegap melambai-lambaikan tangannya sembari tersenyum. Ia menutup mulutnya tak percaya, lantas dengan cepat berlari keluar kamar.
Allamanda membuka pintu, berjarak sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri, nampak laki-laki yang tadi melempari kamarnya dengan kerikil tersenyum padanya. Senyum yang telah lama ia rindukan.
“Lo, Bryan kan? Anaknya om Egra?”
Bryan berjalan mendekat, ia mengangguk. “Yes, long time no see Wheely.”
“Lo beneran anaknya om Egra?” tanya Allamanda sangsi.
“Iya, Allamanda. Ini gue, kenapa? Gue tambah ganteng ya?”
“Gue rasa lo emang Bryan anak alay.”
“Nah, sadar kan.”
“Lo buat apa ke sini?”
Bryan berkacak pinggang. “Lo nggak suruh masuk dulu? Pegel nih.”
"Nggak ada orang di rumah gue.”
“Lah, terus lo itu apa? Sama aja kan?”
“Lo nggak pintar-pintar ya, udah ah, ke taman belakang aja.” Allamanda menutup pintunya dan menarik Bryan agar mengikutinya.
Ketika berada di taman, Bryan dibuat terpukau oleh keindahan taman Allamanda yang begitu cantik. Di sana, terdapat kursi malas, ayunan, lampion-lampion kecil yang jika malam akan terlihat begitu indah, dan beragam bunga serta rumput yang ditata dengan apik.
“Dari dulu, taman ini emang nggak pernah berubah,” ujar Bryan pada dirinya sendiri namun masih mampu didengar oleh Allamanda.
“Lo, boleh duduk di mana pun. Serah lo, gue buat minum dulu.” Bryan hanya mengangguk sebagai respon. Tak lama kemudian, Allamanda datang dengan nampan berisi jus jeruk. Allamanda menyodorkannya pada Bryan yang langsung ia terima dengan senang hati.
“Tahu aja, gue suka ginian.” Bryan menenggak jus tersebut hingga tersisa setengah.
“Haus apa doyan? Lagian, gue udah hafal kebiasaan lo yang sesuka itu sama jus jeruk. Entah itu hujan, panas, badai, jus jeruk tetap for life."
Bryan terkekeh. “Tanpa jus jeruk, hidup gue nggak akan bermakna.”
“Lebay!” Allamanda duduk di depan Bryan sembari, memeluk nampan yang tadi ia bawa. “Tapi, kebiasaan lo lempar batu di jendela nggak pernah berubah ya?”
Bryan mendelik. “Sedikit tambahan, tapi kebiasaan gue itu diajarin sama cewek di depan gue.” Allamanda cengengesan, lalu begitu saja, memorinya kembali melayang pada kejadian beberapa tahun silam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy Love Cold Girl
Teen Fiction[Completed] Teruntuk kamu yang selalu menjadi alasan atas apa yang terjadi dalam hidupku. Terimakasih atas tawa bahagia yang engkau ciptakan, dan juga luka mendalam yang kau sematkan di hidupku. -Allamanda Untuk kamu yang kini hanya bisa ku kenang. ...