Waktu bergulir begitu cepat, hingga tak terasa, genap satu minggu Allamanda menghilang. Gadis itu seolah ditelan bumi, jejaknya sama sekali tak diketahui. Dan, semua itu cukup untuk mengubah seorang Samuel. Laki-laki yang terkenal dengan senyum manisnya serta sifatnya yang suka menebar pesona pada cewek-cewek di sekitarnya, tak lagi terlihat. Cowok itu sibuk mencari gadisnya yang kini entah kemana. Namun, sekuat apapun ia mencoba, semesta seolah tak mengizinkannya untuk bertemu dengan gadis itu.
Dengan wajah tanpa ekspresi, sudah mampu membuktikan jika kepergian gadis itu membawa pengaruh besar dalam dirinya. Mereka sekan tak mengenali Sam, bahkan untuk tersenyum padanya, mereka segan.
Sam duduk termenung, membiarkan pikirannya melalang buana entah kemana. Menikmati sunyi, atau bahkan tak dapat disebut sunyi karena, lelaki itu kini berada di pusat keramaian sekolahnya. Namun, seramai apa pun tempat yang kini ia tempati, rasanya akan sesunyi saat gadis itu tak berada di sampingnya. Ketika asik termenung, tiba-tiba ada seseorang yang duduk di depannya. Seseorang yang ingin sekali ia kubur hidup-hidup.
“Pergi.”
“Nggak, Sam. Biarin gue di sini sebentar, aja.”
“Lo mau apalagi? Mau hancurin gue lagi? Mau hancurin Allamanda lagi? Lo nggak puas? Jadi cewek, murah banget lo.”
Luna menunduk. “Maafin gue. Maaf, atas semua yang gue lakukan sama lo dan juga Allamanda.”
Sam menaikkan salah satu alisnya, sinis. “Apa, lo bilang? Maaf?”
Luna mengangguk. Ia mengangkat wajahnya, menatap Sam dengan mata yang berkaca-kaca. “Iya, maafin gue. Gue tahu, gue nggak pantas untuk mendapat maaf dari lo, tapi izinin gue untuk menyampaikan permintaan maaf gue. Gue sadar, gue sadar sekarang dan gue minta maaf sama lo. Maafin gue, Sam.”
“Apa, dengan lo minta maaf sama gue Allamanda bakal balik lagi? Apa Allamanda masih percaya lagi, sama gue? Nggak. Kepercayaan nggak bisa dibeli hanya dengan kata maaf.”
Luna menghela naoas pelan. “Kalau gitu, izinin gue buat menyatukan lo dan Allamanda kembali. Gue akan temukan Allamanda. Gue berjanji,” kata Luna dengan sorot mata penuh keyakinan.
“Gue nggak akan percaya, sebelum Allamanda berada di depan gue.”
“Gue akan buktikan sama lo. Anggap aja, ini sebagai penebusan atas semua kesalahan yang gue buat sama lo dan juga Allamanda.”
“Gue nggak butuh janji, gue butuh bukti.”
***
Malam telah menjemput sejak satu jam yang lalu, namun Allamanda masih setia duduk di atas genteng dengan secangkir kopi di sampingnya. Ia menatap langit yang kini nampak suram. Bulan serta bintang yang seharusnya bertugas malam itu, tak mampu ia lihat. Mereka seolah bersekongkol untuk menghilangkan diri. Allamanda menghembuskan napas pelan, sudah seminggu ia berada di Vila keluarganya yang berada di Bandung, namun ia masih setia menetap tanpa memiliki niat untuk kembali lagi ke Ambon. Rasannya, ketika mengingat kota indah itu, rasa sakit seketika memenuhi ruang dalam hatinya. Di sana, semuanya telah hancur. Keluarga, sahabat, bahkan hubungannya kini telah hancur. Lantas, alasan apa yang membuatnya harus kembali ke sana?
Allamanda memejamkan matanya, menarik nafas panjang dan menguatkan diri untuk membuka kembali ponselnya. Selama seminggu ia di sini, tak pernah sekalipun ia menggunakan ponselnya itu. Ketika dibuka, banyak missed call serta pesan yang dikirimkan kepadanya. Entah itu dari Sam, Bryan, sahabat-sahabatnya, atau bahkan Samanta. Namun, yang menduduki peringkat pertama adalah Sam dengan missed call lebih dari seratus kali.
Allamanda tersenyum miris, lalu membiarkannya seperti itu tanpa sedikit pun niat untuk membalas salah satu pesan diantara sekian banyak pesan yaang ia terima. Terlihat egois memang, namun terkadang, kita perlu menjadi egois agar tak selalu tersakiti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy Love Cold Girl
Teen Fiction[Completed] Teruntuk kamu yang selalu menjadi alasan atas apa yang terjadi dalam hidupku. Terimakasih atas tawa bahagia yang engkau ciptakan, dan juga luka mendalam yang kau sematkan di hidupku. -Allamanda Untuk kamu yang kini hanya bisa ku kenang. ...