BAB 5

12.9K 640 0
                                        

Tawa yang sempat menggema di ruangan tersebut, mendadak hilang. Keduanya terdiam. “Bang Raga denger?”

Raga mengangguk. “Taman belakang.”
Lantas tanpa membuang-buang waktu, keduanya segera berlari. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat Dara yang terkapar tak berdaya, dengan pergelangan tangan yang mengeluarkan cairan kental serta bau anyir.

Allamanda menutup mulutnya, berjalan gontai menuju sang ibu. “Bun, Bunda??” Allamanda mengguncang tubuh Dara namun, tak ada respon.

“Bunda bangun!!” Allamanda meraih tubuh sang ibu ke dalam dekap, pikirannya sudah dipenuhi oleh berbagai perspektif mengerikan.

“Bang, apa yang harus kita lakukan?” tanya Allamanda dengan mata yang berkaca- kaca.

“Kita akan bawa Bunda ke rumah sakit.” Setelah berkata demikian, Raga segera membopong sang ibu menuju mobil dan bergegas membawanya ke rumah sakit terdekat.

Selama perjalanan, Allamanda tak henti-hentinya meneteskan air mata melihat sang ibu yang terkapar di atas pangkuannya dengan bibir pucat dan tangan yang masih mengeluarkan darah. Akal sehatnya baru tersadar saat darah itu menetes di pangkuannya. Secara refleks, ia menarik seragamnya keluar dan merobeknya hingga baju yang ia kenakan sebagai lapisan, terpampang jelas.

“Bang, lebih cepat!!” Raga tanpa menoleh, langsung menginjak pedal gas dengan kekuatan penuh dan menyalip semua kendaraan yang berada di depannya. Kurang lebih 10 menit terlewati, mereka telah sampai di rumah sakit terdekat.
Segera, Raga membopong Dara memasuki rumah sakit, disusul Allamanda dari belakang. Para perawat yang melihat kedatangan Raga, dengan cepat membawa brankar dan membaringkan Dara di sana. Para perawat itu, dengan cekatan memasukkan Dara ke dalam ruang IGD. Allamanda terduduk lemas, tampilannya kini terlihat kacau dengan robekan di baagian bawah seragamnya. Raga terdiam, memilih berdiri di samping pintu.

“Bang, apa Bunda pernah ngobrol sesuatu sama Abang?”

Raga melirik Allamanda, berjalan mendekat ke arahnya dan merangkul sang adik. Bermaksud membagi kekuatan.

“Maaf, Abang nggak bawa jaket.”

Allamanda tersenyum, menyenderkan kepalanya di pundak Raga. “Iya, nggak papa Bang.”

“Tentang Bunda, kita emang sering ngobrol. Tapi, semua itu hanya sebatas masalah di kantor, pendidikan Abang, dan masa depan kita. Bunda nggak pernah ngomong tentang masalah yang dia alami atau bahkan kesehatannya pun Abang nggak pernah setahu itu.”

Allamanda menatap lurus ke depan. “Mungkin, selama ini Bunda emang kelihatan baik-baik aja. Selalu tersenyum, bahkan sikapnya nggak pernah berubah. Selalu perhatian, walau terkadang aku dan Bunda sering terlibat dalam pertengkaran. Aku emang nggak pernah sedekat itu dengan Bunda, tapi, aku merasa jika ada sesuatu yang Bunda sembunyiin dan enggan untuk diumbar sama kita.”

“Nda, semua orang di dunia ini pasti punya sesuatu yang hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. Bunda pun demikian. Itu hak mereka untuk mengatakannya kepada orang lain atau tidak. Kita emang keluarga, tapi, tidak selamanya kamu tahu sedetail itu tentang Abang atau Bunda. Bunda dan Abang pun seperti itu. Pada intinya, kamu harus yakin jika alasan dibalik keengganan Bunda untuk mengatakannya pada kita adalah hal yang baik. Bunda nggak ingin menambah beban kita, karena Bunda tahu kita pasti punya masalah masing-masing.”

“Abang bener.”

“Udah, kamu nggak usah sedih. Believe me, if everything will be alright. Oke dear?”
Allamanda mengangguk. Ia hendak menyahut saat pintu ruangan terbuka dan menampilkan seorang dokter wanita yang perkiraan usianya telah mencapai kepala empat. Dokter itu tersenyum tipis.

Bad Boy Love Cold GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang