BAB 11

11.2K 513 2
                                    

"APA?!”

Allamanda yang mendapat respon berupa teriakan dari ketiga temannya hanya bisa mendelik malas. “Biasa aja.”

“Gue sahabatan sama lo, udah dari SD dan lo nggak pernah kasih tahu gue?” tanya Vika dengan raut kecewa yang kentara.

“Lo pernah nanya?” Vika mendengkus, namun apa yang dibilang Allamanda adalah benar. “Lagian, gue sama Bryan udah sahabatan dari kita belajar merangkak, tapi saat usianya lima tahun dia pindah ke luar negeri.”

Vika menatap Allamanda sengit, namun pada akhirnya memilih untuk mengalah. “Terserah deh.”

“Hmm, Al. Boleh nanya nggak?”

“Tumben izin? Biasanya juga langsung ngomong.”

Ninda terkekeh pelan. “Sam tahu, lo sahabatan dengan Bryan?”

“Nggak, emang urusannya sama dia apa?”

“Kok lo nggak peka, sih?”

“Ngomong aja langsung, nggak usah berbelit-belit.”

“Lo nggak tahu? Sam itu suka sama lo. Alasan kenapa dia rela untuk ngelakuin apa yang gue suruh, dia rela ngantar jemput lo ya, karena rasa itu.”

“Iya juga sih,” Vika ikut berujar, lebih pada dirinya sendiri. Allamanda hanya diam, lalu menyenderkan kepalanya di kasur.

“Stop!” Semua mata seketika, tertuju pada Luna. Memandang gadis itu aneh. Seolah mengerti arti tatapan itu, Luna melanjutkan ucapannya, “Gue laper.”

Sontak, ketiganya tertawa. “Apaan sih, orang laper juga.”

Ninda beranjak dari duduknya, dengan tawa yang masih tersisa. Ia bergerak menuju pintu dan memanggil ART untuk membawakan beberapa camilan serta minuman untuk teman-temannya. Setelahnya, Ninda kembali duduk dan tak lama setelah itu, sang asisten datang dengan nampan yang cukup besar di tangannya.

“Ini minumnya, kalau butuh apa-apa panggil Bibi aja ya."

“Makasih Bi,” ujar mereka yang direspon dengan anggukan serta senyuman kecil.

“Eh, gue mau nanya soal Sam dong, Al.”

“Gue lagi males, bahas dia,” jawab Allamanda sembari meraih sebuah keripik dan memakannya.

Luna sedikit cemberut. “Tapi ini penting.”

“Lain kali aja deh.”

Luna mendengkus, karena kesal ia meraih esnya dan meminumnya dengan cepat alhasil, akhirnya sudah bisa ditebak. Ia tersedak dan bukannya membantu ketiganya malah tertawa dengan Ninda yang terlihat begitu menikmatinya hingga terbahak- bahak.

“Teman kesakitan malah diketawain, dasar teman jahanam.” Wajah Luna kini, sudah terlihat seperti pakaian yang tidak pernah disetrika. Kusut.

“Mukanya biasa aja dong, nanti cantiknya hilang loh,” goda Vika sembari menoel pipi Luna.

“Kampret!”

Allamanda menggelengkan kepalanya, lucu melihat tingkah ketiga temannya saat ponselnya berdering. Allamanda meraih ponselnya yang berada di dalam tasnya. Ada panggilan masuk dari nomor yang tak dikenal. Ia memilih mengabaikannya, namun beberapa menit kemudian ponselnya kembali berdering. Semua itu, tak luput dari pandangan Vika, Ninda dan juga Luna.

Bad Boy Love Cold GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang