Chapter 3

1.8K 130 48
                                    

ANIND

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ANIND

*****

Gemercik rintik hujan masih terdengar di luar. Udara yang dingin membuat semua orang malas untuk beraktivitas dihari yang menangis ini.

Gladys merapatkan jaketnya agar udara dingin tidak menembus kulitnya yang tipis. Ia memperhatikan sekitar, hanya bulir air hujan yang bisa ia lihat bergerak turun membasahi bumi yang manusia pijaki.

Sudah hampir pukul setengah delapan, hujan masih belum berhenti. Gladys mulai gelisah. Ia tak ingin terlambat lagi seperti hari yang lampau. Lantas ia memutuskan untuk menerobos hujan menggunakan payung untuk menuju ke halte. Itu adalah satu-satunya solusi yang bisa dia pilih.

Gladys berjalan dengan cepat menuju halte. Ia memilih melepas sepatunya karena tidak ingin alas kaki itu basah terkena genangan air hujan. Setibanya di halte, ia sendirian di sana. Tak ada seorangpun yang beridiri di tempat itu untuk menunggu bus. Tidak ada. Hanya ia seorang.

Pukul setengah delapan, Gladys benar-benar akan terlambat. Padahal, hari ini adalah hari pertama dimana MOS akan dilaksananakan. Gladys mulai gelisah. Tidak mungkin ia tidak masuk. Hal itu akan membuatnya mendapat hukuman jika tidak datang. Terlebih, SMA Alfa tidak mentolerir siswa yang tidak masuk tanpa keterangan. Calon ataupun sudah menjadi siswa!

Suasana benar-benar sepi. Langit mendung menutupi sinar matahari yang berusaha menyinari bumi. Tapi apa daya, matahari bukanlah benda yang bisa bergerak ataupun berbicara untuk menyuruh sang awan mendung agar memberinya sedikit celah.

Dari kejauhan, lampu depan sebuah motor yang sedang melaju pelan terlihat kontras dengan hari yang bagaikan tidak memiliki matahari. Perlahan, motor berwarna merah itu menuju ke halte tempat Gladys menunggu bus. Semakin dekat jarak antara motor itu dan Gladys, cewek berambut ekor kuda itu semakin mengenali sosok yang duduk bak seorang pangeran menunggang kuda di atas kendaraan beroda dua berwarna merah tersebut.

Ya, Gladys mengenali sosok itu. Sosok yang tempo hari menyuruhnya mengelilingi lapangan basket. Saat itu juga, rasa jengkel dirasakan oleh Gladys. Ia masih tidak terima dihukum seperti waktu itu. Pikirnya, apa salahnya mengenakan dasi di kening? Itu, kan, juga terpaksa ia lakukan.

"Lo cewek pendekar dasi itu, kan?" tanya cowok berparas tampan tersebut.

"Maksud lo apaan manggil gue cewek pendekar dasi?" Gladys membalas pertanyaan itu dengan sengit. Ia berpikir, apa iya dia bertampang seperti seorang pendekar?

"Yaelah, lo nyolot banget, sih. Nama gue Adrian."

"Gue udah tau kali. Nama pasaran siapa yang ga tau?"

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang