Chapter 21

676 44 15
                                    

*****

Bel istirahat berbunyi. Gladys dan Kamila segera keluar meninggalkan kelas. Mereka berdua benar-benar sudah tidak tahan dengan rumus fisika yang diajarkan oleh Ibu Masyita. Bukannya apa, Ibu Masyita tidaklah jahat seperti guru kebanyakan. Namun dia hanya diam, dan terus diam. Bukannya menjelaskan kepada murid, malah murid yang menjelaskan kepada murid lainnya. Ibu Masyita bagaikan bayangan. Ada tetapi tak pernah dianggap.

Di pertengahan jalan menuju kantin, Gladys tidak sengaja menabrak seseorang yang membawa begitu banyak buku. Saat bahu Gladys dan orang itu bertabrakan, buku-buku yang orang itu bawa terjatuh semua. Dengan reflek Gladys berjongkok untuk membantu orang itu memungut buku-bukunya. Kamila pun melakukan hal yang sama.

"Maaf ya. Gue ga merhatiin jalan," ucap Gladys sambil memberikan buku pada orang itu.

Orang itu tersenyum. Tapi bukan senyum yang baik-baik saja. Senyum itu seperti..., seperti senyum kemenangan.

Gladys sedikit terkejut saat tahu siapa orang yang ditabraknya.

Anind.

Anind memajukan kepalanya mendekat ke arah kuping Gladys. Sesaat, senyuman tidak tulus terlihat sebelum ia mengucapkan, "Kita lihat, siapa yang bakal dapetin Adrian," bisik cewek licik itu.

Gladys tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Anind. Gladys hendak bertanya tetapi cewek itu langsung pergi meninggalkan Gladys dan Kamila yang kebingungan.

* * * * *

Di kantin, perkataan Anind terus saja terngiang di kepala Gladys. Cewek berambut ekor kuda itu bingung, apa maksud dari perkataan Anind tadi.

Siapa yang bakal dapetin Adrian. Kalimat itu terus saja terulang dikepalanya.

Kamila yang melihat perubahan sikap Gladys menjadi penasaran. Apa gerangan yang membuat sahabatnya itu menjadi melamun dan hanya mengaduk-aduk mie ayamnya.

Kamila meletakkan garpu lalu bertanya, "lo kenapa sih, Dys? Gue perhatiin sedari tadi, kok lo ngelamun mulu? Lo ada lagi mikir makan apa besok, ya?" rasa penasaran Kamila membawanya mengeluarkan kalimat itu.

Gladys tidak menanggapi pertanyaan Kamila. Hal itu membuat kedua mata Kamila menyipit. Kamila bukan kesal tapi gemes. Gladys kebiasaan hilang dalam pikirannya.

Untuk menarik perhatian Gladys, Kamila berteriak. "Oi!!"

Karena kaget, Gladys reflek berteriak, "Eh buset," sambil mengelus dadanya. "Gue kaget peak!"

Kamila menyipitkan matanya lagi lalu menjitak kepala Gladys.

"Lo kenapa, sih? Ngelamun dari tadi. Ada masalah? Cerita gih sama gue. Sahabatmu yang cantik seperti Ariana Grande ini siap menjadi buku harianmu yang hidup."

Gladys tersenyum mendengar ucapan Kamila. Dalam segi apapun, sahabatnya itu akan selalu mendengarkan curahan hatinya.

Apa sebaiknya gue cerita ke Kamila aja ya? Batin Gladys bimbang. Dia bukannya tidak percaya kepada Kamila, hanya saja dia bimbang. Haruskah Kamila tahu tentang ini?

"Dys? lo gapapa, kan?" tanya Kamila pelan. Berusaha menarik roh Gladys yang sedang berkelana.

"Mil...," kataGladys menggantung.

Sebaiknya Kamila ga usah tau.

"Ya?"

"Eh, bel masuk udah bunyi tuh." Mendengar suara bel, Gladys mengalihkan pembicaraan, berusaha untuk tidak membahas itu lagi. Kamila yang tahu sesuatu telah terjadi, hanya diam memendam rasa penasarannya. Kamila berusaha terlihat biasa-biasa saja dan tidak terkesan terlalu penasaran akan masalah yang sahabatnya hadapi.

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang