Chapter 25

571 38 5
                                    

Langit di cakrawala sana perlahan-lahan berubah warna mengiringi kepergian sang mentari untuk berganti tugas dengan rembulan. Jika biasanya senja didominasi oleh warna jingga, maka berbeda dengan hari ini. Warna hitam awan yang membawa begitu banyak uap air menghiasi langit. Mungkin saja sebentar malam akan hujan deras. Atau juga tidak. Langit Jakarta terkadang tidak sesuai dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Lampu-lampu jalan yang terpasang, satu persatu menyala untuk menerangi jalan. Gedung-gedung pencakar langit yang berdiri kokoh di tanah Jakarta juga sudah mulai bersinar, walau belum sepenuhnya.

Baru sore tadi Gladys keluar bersama Raihan. Pikirnya, sekali-kali ia mengajak adiknya itu keluar. Walaupun sering bertengkar, Raihan tetaplah adiknya, dan seorang kakak memiliki kasih sayang tersendiri untuk adiknya. Sialnya, Gladys dan Raihan mungkin akan terjebak hujan.

Jangan tanya mengapa, dulu saja Gladys pernah berniat membawa kendaraan ke sekolah, dan akibatnya dia dimarahi oleh mami dan papinya. Jika mengingat itu, Gladys merasa tidak jauh berbeda umurnya dengan Raihan.

"Elu, sih, ngajakin keluar." Tiba-tiba saja Raihan menyalahkan Gladys.

Gladys memalingkan wajahnya yang tadi memandang langit ke arah Raihan. "Eh tuyul. Lo tuh harusnya bersyukur gue ajakin makan. Ditraktir pula!"

Dalam hati, Gladys mengomel sendiri. Ia sudah berbaik hati mengajak adiknya itu untuk makan di luar, tapi adiknya malah memprotes dan seperti menyesal telah keluar bersama Gladys.

"Naik angkot lagi. Duh kalo sama si Ilham, nih, gue bisa naik motor. Ga usah desak-dasakan di angkot." Sepertinya Raihan belum puas dengan ucapannya yang tadi.

Gladys memutar bola matanya tidak peduli dengan ocehan Raihan Pramudia Alvarendra. Baginya, ocehan Raihan itu seperti angin lalu saja.

"Gimana dong ini kita pulangnya? Udah gerimis gini. Hape gue mati." Raihan bertanya dengan nada penuh kesal. Pertanyaan Raihan itu membuat Gladys sadar. Ya, bagaimana mereka pulang tanpa basah kuyup? Angkot juga sudah jarang ada yang lewat, dan kalau malam, bisa bahaya. Mau naik taksi, Gladys memikirkan uangnya. Jangan bilang Gladys pelit, tapi memang dompetnya tidak setebal anak-anak kota metropolitan yang lain.

"Ya gimana? Gue juga ga bawa hape, nih. Lo kenapa baru ngasi tau? Dasar tuyul arab lo!"

Gladys menghela napas berat. Ia menarik tangan Raihan kemudian membawanya berjalan mencari wartel yang sepertinya mustahil ia temukan dizaman sekarang.

Hujan yang semakin deras membuat dingin semakin menjadi-jadi. Apalagi Gladys dan Raihan tidak menggunakan jaket sama sekali.

Gladys dan Raihan berjalan di sekitaran toko untuk menghindari air hujan agar tidak semakin dingin saat air hujan itu mengenai mereka.

"Gue dingin banget," kata Raihan sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, Sesekali ia meniupnya agar ia merasa hangat.

Gladys memandang adiknya prihatin. Bagaimanapun, rasa tidak tega itu muncul didalam hati Gladys.

"Yaudah, kita berdiri dekat sana aja. Siapa tau papi sama mami nyariin, kan, kita bisa keliatan. Kan ga lucu tuh kalo kita jadi gembel dadakan," kata Gladys sembari menunjuk sebuah bangunan yang ramai. Banyak juga pekerja kantoran yang sedang berteduh di sana.

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang