Sudah lewat beberapa hari setelah peristiwa itu. Gladys sama sekali belum bisa melupakan kata-kata Adrian. Sungguh! Saat mengingat itu, rasanya ada yang mencabik-cabik hatinya. Sakit! Sungguh sakit. Sayangnya, rasa sakit itu tidak berdarah. Menimbulkan luka tapi tidak meninggalkan bekas. Luka itu sama sekali kasat mata dan tak bisa diperban oleh apapun.
"Berandalan," suara Raihan terdengar mengejek saat Gladys melewati ruang tamu.
"Siapa yang lo sebut berandalan?" tanya Gladys.
Raihan duduk di sofa sambil menikmati cemilan yang ada di toples. Ia berbaring dan menaruh sebelah kakinya di atas meja. Matanya terus tertuju pada televisi yang menanyangkan kartun. Ia kembali berkata, "Ada suara tapi ga ada wujud. Njir gue jadi merinding!"
Gladys menarik nafas sabar. Ia sama sekali tidak ingin berdebat dengan adiknya. Untuk itu, ia hanya berlalu dan mengabaikan ocehan-ocehan Raihan yang berusaha menarik perhatiannya agar memulai pertengkaran.
Sebelum meninggalkan ruang tamu, Gladys mendengar Raihan berkata, "Membosankan!" Sepertinya usaha Raihan untuk membuat Gladys marah gagal total.
Hari minggu, jalan tampak sepi. Tidak seramai seperti hari-hari kerja. Jalan begitu renggang dan hanya ada satu dua kendaraan yang melintasi jalanan besar ini.
Gladys memilih berjalan-jalan menikmati hari weekend-nya dengan berjalan kaki. Dia sama sekali tidak berniat menggunakan sepedanya yang sedang menganggur dan menunggu untuk digunakan.
Dalam jalan-jalannya yang tak menentu, kepalanya terus memikirkan Adrian serta kata-kata menyakitkannya. Tak bisa Gladys pungkiri, ia merasakan rindu yang sungguh besar pada Adrian. Sudah lewat dari tiga hari ia tidak bertemu dengan Adrian. Di sekolah atau dimanapun.
Hampir satu jam Gladys jalan tak menentu arah, ia tidak sadar jika kakinya membawanya ke sekolah. Ia baru sadar saat melihat gapura besar yang di atasnya terdapat tulisan SMA Alfa Jakarta. Itupun karena ia mendongak tidak sengaja. Kalau tidak, ia tetap tidak akan sadar dia ada dimana.
Gladys berpikir sejenak, apakah lebih baik dia masuk? Toh tidak ada tujuan lain yang akan dikunjunginya. Dia sedikit tersenyum miring ketika berpikir siapa orang gila yang datang ke sekolah saat semua orang sedang menikmati hari libur? Ia seperti mengejek dirinya sendiri.
Saat tiba di koridor, langkah kakinya terdengar jelas. Suara yang biasanya bising, kini berubah sangat sunyi dan itu membuat suara sekecil apapun akan terdengar jelas.
Gladys menyusuri koridor-koridor yang sepi itu tanpa takut akan apapun. Tangannya ia masukkan ke dalam saku celana jeans-nya. Baju kemeja cokelat longgar tanpa di kancingnya berkibar saat ada angin yang menerpanya. Baju kaus hitam longgar yang dikenakannya ia masukkan ke dalam celananya. Ia juga memakai topi berwarna putih dan rambutnya yang ekor kuda bergerak ke kiri dan kanan saat ia bergerak. Tak ketinggalan headphone terpasang di telinganya yang memperdengarkan lagu Ronan Keating yang berjudul If Tomorrow Never Comes.
Gedebuk!
Gladys mendengar suara benda jatuh. Saat celingak-celinguk sebentar, ia tahu bahwa suara benda jatuh itu berasal dari ruang kesenian. Ruangan yang sama sekali belum pernah dimasukinya.
Penasaran, Gladys bergegas ke ruangan itu. Setibanya di sana, ia langsung mengetuk pintu berwarna kayu mengkilat yang diatasnya ada name tag Ruang Kesenian. Siapa tahu saja ada orang di dalam sana. Atau mungkin hanya seekor tikus yang nakal yang sedang menjatuhkan benda apapun yang disentuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DERANA
Teen FictionApa jadinya jika seseorang yang kau sayangi menghilang? Apa jadinya jika kau mengetahui bahwa ternyata orang itu ada di dekatmu tapi ia tidak berusaha menemuimu? Sakit hati! Benar, itu yang akan kau rasakan. Ini mungkin sedikit klise tapi ini adalah...