Chapter 32

473 35 15
                                    

Gladys berdiri dengan malas dalam barisan. Celoteh Pak Aser Bawotong si kumis maut terus membahana. Ia tak henti-hentinya berbicara mengenai kebersihan, kedisiplinan, bahkan uang SPP. Bukannya apa, ketiga topik itu terus saja dibicarakannya pada saat upacara. Sesuatu yang seharusnya dilakukan untuk menghormati para pahlawan malah digunakan untuk membahas hal itu yang menurut Gladys tidaklah penting.

Pak Arman berkeliling barisan. Matanya yang dihalangi oleh kacamata bening, terus berputar berusaha mencari siswa yang melanggar peraturan. Tangannya ia silangkan di belakang tubuhnya, tepat di atas pantatnya yang tepos. Tak lupa ia juga membawa sebuah pemukul yang terbuat dari rotan. Ia akan menggunakan rotan itu kalau-kalau harus digunakan. Bisa dibilang rotan adalah senjata pamungkas dari Pak Arman, kesayangan semua siswa SMA Alfa.

"Hmm...," gumam Pak Arman. "Kenapa bede kalo hari senin ji na rapi semua ini murid? Herangka nakke bela. (Kenapa hanya pada hari senin saja mereka rapi? Heran saya)," katanya lagi sambil menggelengkan kepala.

Saat ia di dekat Gladys, Pak Arman berhenti. Ia memandangi Gladys dari kaki hingga ke kepala. Gladys yang ditatap seperti itu merasa diawasi seperti terpidana kasus narkoba yang sedang marak di Indonesia. Gladys khawatir, apakah ia akan mendapat vonis mati atau hanya sekedar berdiri di bawah tiang bendera lagi?

"Kenapa pak?" Gladys bertanya. Ia sudah tidak tahan dengan tingkah Pak Arman yang terus memperhatikannya curiga.

"tidak papa ji. Tumben ko rapi. Biasanya juga berantakanki dandanannu (Tumben kau rapi. Biasanya dandananmu berantakan.)"

Gladys mendengus sebal. Setelah Pak Arman meninggalkannya, ia kembali memperhatikan pidato panjang Pak Aser. Kumisnya yang panjang seakan menjadi masker penutup mulutnya. Ingin rasanya Gladys tertawa saat Pak Aser berbicara. Kumisnya akan ikut bergoyang seperti goyangan Geboy Mujair Ayu Ting-Ting.

Saat istirahat makan siang, Gladys dan Kamila menuju ke kantin seperti biasanya. Mata Gladys berputar mencari sosok Adrian. Sayangnya, Gladys tidak menemukan cowok itu. Adrian seperti masih malu untuk menampakkan batang hidungnya.

"Mil, Adrian kok ga pernah sekolah, ya? Gue khawatir," kata Gladys pada Kamila. Sahabatnya itu menatap Gladys dengan tatapan iba. Kamila tahu, Gladys benar-benar khawatir dengan Adrian.

Benar juga, sudah seminggu Adrian tidak masuk sekolah. Bahkan saat upacara tadi, Wakil Ketua OSIS dan Ketua MPK yang mengambil komando untuk mengatur barisan. Biasanya Adrian dan ketua OSIS yang melakukan tugas itu.

"Dys, gimana kalo pulang sekolah nanti, kita ke rumahnya Adrian aja. Gue juga khawatir," Kamila mengusulkan. Nadanya terdengar tulus saat mengatakannya.

Gladys tersenyum ke arah sahabatnya kemudian mereka bergegas menuju kantin.

Gladys dan Kamila belum sempat masuk ke area kantin ketika mereka melihat Kevin sedang berdiri di pintu masuk. Wajahnya yang polos seperti tak pernah melakukan kesalahan apapun, membuat Gladys jijik. Ingin rasanya Gladys ke depannya dan berteriak. Tapi tentu tidak dilakukannya. Ia akan mengikuti permainan Anind dan juga Kevin. Gladys ingin melihat, apa yang akan dilakukan oleh kedua manusia titisan dajjal itu.

Kamila memegang tangan Gladys. Maksudnya, ia berniat mengajak Gladys ke kantin lainnya. Tapi belum sempat mereka berbalik, Kevin sudah menyadari keberadaan mereka dan berjalan menghampiri Kamila dan Gladys yang memasang wajah datar. Wajah tampan Kevin benar-benar membuat Kamila muak. Dia benar-benar tidak menyangka, sepupunya itu berhati busuk. Bahkan Bunga Rafflesia Arnoldi masih harum baunya dibanding hati Kevin saat ini yang sedang dibutakan oleh rasa cintanya kepada Gladys.

"Hai," kata Kevin riang. Ia berusaha menarik perhatian Gladys.  Kamila dan Gladys tersenyum datar untuk menanggapi. Mereka berdua malah tidak mengeluarkan suara atau sekedar menjawab "Hai juga" untuk Kevin. Gladys dan Kamilah malah terlihat tidak nyaman Kevin berada di situ. Bodohnya, Kevin tidak menyadarinya.

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang