* * * * *
Suasana kelas XIPA4 begitu sunyi. Padahal ada tiga puluh enam siswa yang sedang duduk di dalamnya. Mereka tidak berani mengeluarkan suara sedikitpun karena kertas yang ada di atas meja mereka. Selebaran yang berisi soal matematika. Hal itu membuat otak siswa kelas XIPA4 bekerja dua kali lipat dari biasanya.
"Saya ingin kalian mengerjakannya dengan jujur. Tidak ada toleh-menoleh ke kiri dan kanan," Pak Budiman berkata sambil memandang seluruh siswa dengan tatapan horor, "Jika kalian kedapatan mencontek, maka saya akan mengambil pekerjaan kalian dan merobeknya!" perkataan itu membuat Kamila bergidik ngeri.
Pak Budiman yang biasanya berlogat jawa, kini berbeda seratus delapan puluh derajat. Sosok guru killer-lah yang saat ini berdiri di depan kelas.
"Mengerti?!" teriak guru itu lantang dengan bola mata yang nyaris keluar dari tempatnya.
"....." tidak ada siswa yang menjawab pertanyaan itu. Mereka semua sibuk memikirkan soal yang akan mereka kerjakan. Beberapa diantaranya kesal karena mendapat ulangan yang sangat tiba-tiba sehingga tidak mempersiapkan diri dengan baik.
"M-E-N-G-E-R-T-I!!!" Pak Budiman meneriakkan kata itu dengan penekanan disetiap hurufnya.
"Mengerti Pak!" jawab seluruh siswa pada akhirnya.
"Bagus! Kalian boleh mengerjakannya. Tiga puluh menit dari sekarang!" kalimat itu membuat seluruh siswa menganga lebar.
Lima nomor tetapi setiap nomor memiliki anak. Masing-masing empat soal dalam satu nomor, dan mereka hanya diberikan waktu tiga puluh menit? Penyiksaan yang sungguh luar biasa.
Kamila mulai mengerjakan soal. Mulutnya mengaga lebar karena soal tersebut sangat susah untuknya. Ia menggerakkan sikunya, bermaksud untuk memberikan kode pada Gladys. Tetapi tindakannya itu tidak direspon sama sekali oleh Gladys.
"Dys...," ucap Kamila dengan suara yang berbisik. Gladys tetap tidak merespon. Cewek berambut ekor kuda tersebut sibuk memainkan pensil 2B-nya. Pikiran cewek itu mungkin mengelana ke suatu tempat yang hanya Gladys yang tahu.
"Dydys!" suara Kamila sedikit besar. Sikukannya juga lebih bertenaga.
"Awhh! Apaan, sih, lo, Mil?" Gladys tanpa sadar mengucapkan kalimat itu sangat keras. Sontak saja seluruh pasang mata yang ada di kelasnya memandang mereka berdua. Tak terkecuali Pak Budiman yang sekarang mengeluarkan tanduk berwarna merah dikepalanya.
"Eh maaf Pak. Saya tidak sengaja menginjak kaki Gladys," Kamila meminta maaf dan memberikan penjelasan perihal teriakan Gladys tadi. Guru yang mendapat julukan pemakan waktu tersebut menatap mereka berdua dengan tatapan seperti ingin menghukum mati seorang tahanan. Menyeramkan dan tidak berperikemanusiaan.
"Duh lo kenapa teriak, sih? Itu soal nomer satu maksudnya apa?" Kamila bertanya dengan suara yang sangat pelan. Kali ini Gladys tidak sibuk dengan pikirannya lagi. Gladys yang ditanya baru sadar dengan soal yang ada di hadapannya. Saat tahu kalau dia sedang berada dalam situasi yang mengerikan, Gladys membulatkan matanya kaget.
"Eh kampret. Kok bencana ini ada di atas meja gue, sih?" Gladys bertanya sembari mengangkat kertas ulangan yang ada di atas mejanya dengan tangan kiri.
"Kita ulangan bego. Lo kenapa, sih? Itu kerjain dulu. Ngelamunnya ntar aja. Duh, mana gue gak belajar lagi. Mau ngejawab apa kita?" Kamila berkata dengan nada yang cemas. Pensil yang ia pegang seolah akan patah karena genggamannya yang sungguh kuat. Ya, Kamila sedang kesal. Ia lebih memilih membaca di depan kelas ketimbang harus mengerjakan soal jahannam tersebut.
Gladys melirik cowok yang ada di samping kiri Kamila. Ia mengkode Kamila dengan menggerakkan alisnya. Maksudnya, ia menyuruh Kamila untuk mengikuti arah pandangnyanya. Kamila menengok dan mengikuti arah pandang Gladys. Tapi sepertinya, Kamila tidak tahu maksud Gladys.
KAMU SEDANG MEMBACA
DERANA
Teen FictionApa jadinya jika seseorang yang kau sayangi menghilang? Apa jadinya jika kau mengetahui bahwa ternyata orang itu ada di dekatmu tapi ia tidak berusaha menemuimu? Sakit hati! Benar, itu yang akan kau rasakan. Ini mungkin sedikit klise tapi ini adalah...