Chapter 11

1K 83 17
                                    



Gladys berjalan sendirian di koridor sekolah ketika jam pulang. Ia membawa beberapa buku paket di dadanya dengan cara memeluk buku itu. Ia tidak memasukkannya ke dalam tas karena tas gendong berwarna kuning dan hitam itu sudah penuh. Ia terlambat pulang karena harus menyelesaikan beberapa tugas di perpustakaan.

Ia berjalan menunduk sembari memikirkan kejadian di kantin. Walaupun kepalanya penuh dengan tugas sekolah, tetapi masih saja ada tempat kosong untuk masalah hatinya. Dia bimbang dengan perasaannya sendiri.

Akhir-akhir ini Gladys merasakan sesuatu yang indah saat bersama Kevin. Tapi dilain sisi, rasa rindu akan pelukan Adrian juga mengerjainya. Tapi dengan tindakan Anind tadi yang melabraknya di Kantin, membuatnya berpikir dua kali untuk memeluk Adrian lagi. Bukannya ia takut, hanya saja ia tidak mau ada masalah. Ingat, Gladys masih baru di SMA Alfa.

Ponsel Gladys bergetar di saku roknya. Ia mengeluarkan benda yang sudah menjadi teman terbaiknya lalu membaca nama siapa yang tertulis di layar sentuh ponsel itu. Mami, itu yang ia baca disana. Ia menggeser ikon telepon berwarna hijau ke arah kanan lalu meletakkan ponselnya di telinga kanannya sembari berjalan.

"Ia mi?" Gladys berbicara dengan ibunya yang ada di seberang telepon.

"Iya, aku habis ngerjain tugas di perpustakaan, makanya aku pulang agak telat dikit. Iya aku udah selesai. Dah," Gladys menutup teleponnya dan bergegas meninggalkan sekolah. Hari sudah semakin sore dan itu menjadi fakta yang mengerikan buat Gladys. Ia tidak mau berada di jalan saat jam pulang kantor. Jakarta pada saat itu mengerikan. Macet akan terjadi dan hal itu mengerikan untuk Gladys.

Gladys memperlambat langkahnya ketika sudah dekat dengan gerbang sekolah. Di sana, ia melihat sosok yang sudah tidak asing lagi buatnya. Sosok itu bersandar di gapura sembari menyilangkan kedua tangannya di dada. Salah satu kakinya juga tertekuk dan menyentuh gapura.

"Adrian," gumam Gladys.

Entah kenapa Gladys merasa kasihan pada cowok itu. Hatinya seperti berteriak menyuruh Gladys untuk berlari dan memeluk Adrian, tetapi egonya mencegah untuk melakukan itu.

Memang seperti itukah cinta? Hati dan ego saling berlawanan hanya untuk satu kata, yaitu cinta. Bisa dibilang cinta adalah pusat kehidupan seluruh manusia. Tanpa cinta, hidup akan terasa hambar untuk dijalani. Namun terkadang cinta juga bisa membuat jurang yang dalam. Dan cinta juga bisa memberikan kebahagiaan disamping kesedihan yang mendahuluinya.

Galdys tidak tahu apa yang sedang ia rasakan. Apakah ia mencintai Adrian atau hanya sekedar merindukan sahabat kecilnya. Memang Adrian tidak berubah, ia masih sama seperti dahulu, walau tubuhnya yang kurus sudah lebih bagus dari yang dulu.

Gladys berpikir, apakah ia harus berjalan melewati Adrian yang berada di sana atau berbalik dan menunggu cowok itu pergi. Tapi seperti yang Gladys ketahui, Adrian tidak akan pergi sebelum mendapatkan apa yang diinginkannya. Itu adalah kekeras kepalaan yang sangat Gladys tahu.

Dengan memasang wajah datar tanpa ekspresi, Glady terus berjalan. Ia berusaha memperlihatkan wajah yang tidak bisa ditebak. Ia berniat melewati Adrian tanpa memandangnya sedikitpun. Ia berusaha melakukan itu, namun ia tahu itu sulit.

Adrian menyentuh pundaknya saat Gladys melewati cowok yang dulu selalu ada untuknya. Tindakan Adrian tersebut membuatnya langkahnya terhenti. Hal itu sudah Gladys perkirakan sejak awal dan benarlah, Adrian menahannya.

Gladys berbalik dengan wajah datar untuk berkata "Apa?" pada cowok tampan itu.

Adrian tersenyum memamerkan gigi putihnya yang tersusun rapih. Senyum itu bisa saja menggoyahkan hati Gladys yang sudah ia bangun bak Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur dulu.

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang