"Start the war"
Mereka saling bertatapan, Rebecca balik menatap Calvin datar tak ada raut takut sama sekali tergambar di wajahnya. Ia mulai berjongkok walau susah karena perut besarnya, membereskan piring-piring kotor. Sepertinya ia tak akan tega jika menyuruh karyawannya masuk ke dalam ruangannya karena kalian tahu sendiri disini ada harimau yang siap mengamuk kapan saja.
Wait!Wait!
Apa yang dia lakukan?
Calvin berjongkok dihadapannya, mengambil alih semua pekerjaan yang sedang Rebecca kerjakan. Walau dengan ekspresi wajah yang sama, pria itu membereskan semua piring-piring lalu membawanya keluar ruangan.
Braakk.
Tutup telingamu nak!
Rebecca berdiri untuk duduk di kursinya, siap menyaksikan 'pertunjukkan' gratis yang sebentar lagi akan dimulai.
"Kau sengaja?!" tangan Calvin bereda di pinggang, berdiri angkuh dihadapan Rebecca.
"Saya sudah bilang nyaman dengan dokter kandungan saya yang sekarang. Jadi, untuk apa saya datang?!" Rebecca mengedikkan bahunya acuh. Ia tahu ini akan semakin memancing emosi pria itu, ia tak peduli karena ia tak mau menjadi budaknya yang harus selalu menuruti segala perintahnya.
Tatapan Calvin semakin dingin, bibirnya menipis menandakan amarahnya sudah di level tertinggi. Dia berjalan satu langkah, lalu memubungkuk, tangannya di kepalkan di atas meja, membuat jarak antara wajah mereka semakin dekat.
"Kau sengaja menantangku kan?!" desis Calvin tajam.
"Kau sengaja memancing emosiku?!" lanjutnya.
Rebecca memandangnya datar, tak berniat memundurkan wajahnya karena jarak wajah mereka yang terlalu dekat. "Untuk apa?! Tak ada gunanya untuk saya!"
"Pergilah! Karena percuma saja, saya tak akan pernah mengganti dokter kandungan saya! Saya tahu mengapa anda melakukan ini, anda takut jika saya dan dokter kandungan saya melakukan sesuatu pada calon anak anda kan?! Tenang saja itu tak akan terjadi, karena walaupun saya adalah wanita jahat saya tak mungkin mencelakai darah daging saya sendiri." Rebecca menarik nafas dalam. Gila! barusan ia berbicara dalam satu tarikan nafas.
"Benarkah?! Kita lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya!" Calvin menyeringai kejam.
"Saya tunggu!" Tantang Rebecca tak mau kalah.
Tok...Tok...Tok...
Sesi tatap-tatapan mereka terganggu saat suara ketukan pintu semakin keras terdengar.
"Masuk!" Rebecca hendak berdiri tapi pundaknya ditahan oleh pria itu, membuat mereka jika dilihat dari arah pintu seperti sedang berciuman.
Shit!
"Minggir!!" Desis Rebecca seraya melepaskan cengkraman Calvin dari pundaknya. Yup! seperti biasanya itu tak pernah berhasil. Sebelum ia bisa meloloskan diri dari pria itu, pintu sudah terbuka. Jadi, tak ada yang bisa ia lakukan sekarang, selain diam menahan malu.
"Mbak, mas Rey menelpon katanya aktifkan handphone mbak karena ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan!"
Rebecca tak bisa melihat siapa itu, tapi dari suaranya itu adalah Rani karyawan yang sudah lama kerja disini.
"Oh okay makasih Ran!"
Setelah pintu ditutup, tanpa disuruh Calvin berdiri lalu duduk di sofa tapi matanya tetap menatap tajam seperti sedang mengintai mangsa, dan mangsanya itu adalah Rebecca .
Bajingan itu sengaja melakukannya untuk membuatku malu!
Rebecca langsung mengaktifkan handphonenya, ia penasaran hal penting apa sampai dia harus menelpon ke restaurant.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast
RomanceItu sebutanku untuk diriku sendiri "eccedentesiast" dimana seseorang menyembunyikan kesakitannya dibalik senyuman. -Rebecca Tanur Deacon- Dulu ia adalah orang yang jahat, hatinya dipenuhi dendam yang tak berkesudahan. Tapi seiring berjalannya waktu...