"SAH!"
Semua orang yang berada di dalam ruangan tersenyum bahagia sembari merapalkan syukur atas lancarnya acara anak, saudara, dan teman mereka. Untaian doa mengalun dengan khidmat sesaat setelah penghulu mengoarkan kata sakral tersebut. Deraian air mata tak luput mengalir dari beberapa yang hadir, entah karena mereka terbawa suasana akibat harunya acara ataukah iri pada takdirnya yang tidak seberuntung sang mempelai. Dan salah satu orang tersebut adalah Rebecca yang sedari tadi tak berhenti mengelap air mata hingga merusak riasannya. Ia menangis bahagia, sungguh. Tak ada kebohongan dihatinya, hanya saja di hari kebahagiaan saudaranya terselip keironisan pada dirinya sendiri. Ironis karena ia tak pernah merasakan duduk dipelaminan sebagai seorang pengantin yang berbahagia atau mungkin belum? Entahlah hanya Tuhan yang tahu jalan hidupnya. Jika dibuat perbandingan atas kebahagian pernikahan saudarinya dengan rasa ironisnya yaitu 99:1. Bukankah hal tersebut masih dalam batas wajar? karena bukan hanya dirinya yang seperti itu di ruangan tersebut. Jika ditilik-tilik lebih spesifik cukup banyak khususnya kaum hawa yang memandang iri pada mempelai yang saat ini tengah saling memasangkan cincin dengan raut penuh kebahagian. Betapa bersyukurnya ia karena Kanna-saudarinya bertemu dengan pria yang tepat, bukan hanya mencintainya tanpa syarat tapi juga bertanggung jawab tanpa batas.
Selamat Ann... Batinnya tulus.
Rebecca bergegas keluar aula hotel walau acara masih berlangsung karena jam sudah menunjukkan pukul 13.00 dimana waktunya Olyn minum susu sehabis bangun tidur. Ia yakin anaknya kini tengah menangis karena baru saja Mbak yang menjaga Olyn menelpon dan mengatakan bahwa anaknya itu sudah bangun dan mencarinya. Sengaja ia menyewa jasa baby sister untuk menjaga Olyn untuk hari ini saja, karena anaknya pasti akan rewel jika jam tidurnya terganggu serta terlalu lama dalam keramaian. Ia cukup sulit bergerak dengan cepat karena kain batik yang melilitnya dari pinggang sampai mata kaki ditambah heels dengan tinggi 10 cm membuatnya harus berjalan ekstra hati-hati jika tidak mau terjatuh atau terpeleset lantai hotel yang licin.
"Rere!"
Mendengar namanya disebut Rebecca berhenti lalu membalikkan badan karena suara tersebut berasal dari belakang tubuhnya. "What?" Tanyanya saat tahu siapa pelakunya.
"Mau kemana buru-buru banget?"
"Olyn bangun dan sekarang dia nangis nyariin aku," Jelas Rebecca pada pria tampan dihadapannya.
"Oh yaudah sana cepetan! Gawat kalo ponakan aku sampai ngamuk bisa keganggu ini acara mak lampir," Candanya sambil cekikikan.
"Parah kamu Rey! Aku bilangin Ann biar kamu tahu rasa nanti digebukin suaminya yang tinggi gede." Rebecca membalas candaan Reynold membuat keduanya tertawa.
"Yaelah Re aduan banget sih mentang-mentang suaminya tuh cewe tajir melintir! Badan aku juga nggak kalah gedenya sama suami tuh cewe, jadi kagak takutlah!" Omongan Reynold sontak membuat Rebecca tertawa terbahak-bahak bahkan ia sampai melupakan anaknya yang sedang mencarinya.
Dasar!
We don't talk anymore
We don't talk anymore
Like we use to do
Nada panggilan handphone Rebecca menyadarkan dirinya bahwa ia telah melakukan kesalahan. "Iya sebentar lagi saya sampe." Tut. Panggilan langsung ia putus.
"Gara-gara obrolan kamu yang nggak penting aku jadi lupa sama Olyn yang lagi nangis!" Ujarnya berlalu meninggalkan Reynold yang masih tertawa mendapat omelan dari sahabatnya.
"Bye Rere!" Yang dibalas Rebecca dengan melambaikan tangan tanpa membalikkan tubuhnya.
---
Dengan tergesa-gesa Rebecca keluar dari lift lalu menuju kamarnya yang hanya berjarak beberapa meter dari pintu lift. Ia memasukan key card yang sudah ia siapkan saat masih di dalam lift.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast
RomanceItu sebutanku untuk diriku sendiri "eccedentesiast" dimana seseorang menyembunyikan kesakitannya dibalik senyuman. -Rebecca Tanur Deacon- Dulu ia adalah orang yang jahat, hatinya dipenuhi dendam yang tak berkesudahan. Tapi seiring berjalannya waktu...