Rebecca berjalan dengan santai, manghampiri pria yang saat ini tengah menatapnya. langkahnya berhenti sesaat setelah sampai didepan pria itu.
"Maaf anda berdiri di depan pintu kamar saya." Ujar Rebecca setenang mungkin. Ia bangga pada dirinya sendiri karena setenang itu suara yang keluar dari bibirnya. Percayalah bahwa jantungnya masih berdegup dengan kencang.
Calvin tak merespon ataupun menyingkir, dia hanya berdiri menatap Rebecca dengan mata tajamnya. Entah makna tersirat apa yang coba ia sampaikan pada wanita dihadapannya. Tatapannya terputus tatkala seorang wanita berhijab mengintrupsi.
"Maaf Mas kami mau masuk dan Mas menghalangi pintu kamar kami." Calvin sedikit menyingkir saat wanita berhijab tersebut bergerak maju untuk membuka pintu.
Pintu terbuka dan Calvin belum juga bersuara.
Rebecca berjalan masuk saat Mbak Yanti membukakan pintu untuknya.
"Rebecca." Akhirnya Calvin bersuara.
Rebecca tak kunjung berbalik. Tubuhnya tegang, terlihat dari punggungnya yang kaku mengantisipasi kata selanjutnya yang akan keluar dari mulut pria dibelakangnya. Kata-kata yang selalu tak bisa diprediksinya.
"Rere." Kata kedua yang keluar dari mulut Calvin saat sang object tak kunjung menyaut. "Kita perlu bicara, Re!" Rebecca yakin indra pendengarannya berfungsi dengan baik, tetapi sesuatu yang salah telah terjadi. Alih-alih berbicara dengan nada memohon karena tak jua mendapat respon, Calvin tetap menjadi dirinya sendiri, arogansinya tak pernah bisa beradaptasi dalam situasi medesak sekalipun seperti sekarang ini.
Rebecca muak selalu terjebak dalam situasi seperti ini, karena pada akhirnya pendiriannyalah yang akan goyah dan menuruti keinginan pria itu. Bukan karena ia lemah tetapi karena ia tahu masalah tak akan selesai jika keduanya terus keras kepala, harus ada yang berbesar hati untuk mengalah agar konfrontasi tak berbuntut panjang. Dan untuk kali ini, ia tak mau lagi menjadi orang yang berbesar hati bersedia mengalah dan terus masuk dalam permainan yang pria itu kendalikan.
Tak akan lagi!
Rebecca menghembuskan nafas kasar, menyerahkan Olyn yang tertidur pada Mbak Yanti. "Titip Olyn bentar ya Mbak." Mbak Yanti membalas dengan anggukan disertai senyuman penuh pengertian, entahlah Rebecca merasa senyuman Mbak Yanti tersebut bentuk dukungan tak langsung yang membuat ia secara tak sadar semakin percaya diri untuk menghadapi Calvin.
Rebecca menutup pintu kamar setelah menyuruh Mbak Yanti ke dalam, tak ada niatan untuk dirinya mempersilahkan pria itu masuk. Biarlah mereka berbicara diluar, ia takut pembicaraan mereka tidak dalam keadaan tenang dan akan membangunkan Olyn.
"Bicaralah!" Perintah Rebecca sembari melepas kedua high heels yang membuat kakinya pegal setengah mati.
"Tidak disini."
"Jika tidak ada yang ingin anda sampaikan saya masuk."
Ceklek. Rebecca membuka pintu kamar berniat untuk masuk.
Calvin menghela nafas, "Baiklah."
Rebecca kembali menutup pintu, tak ada rasa senang sedikitpun dihatinya tatkala melihat pria itu memilih mengalah padanya. Hanya kelegaan yang terasa, karena sepertinya keributan tak akan terjadi melihat sikap pria itu barusan. Aneh tapi baguslah karena ia tak ingin orang-orang keluar kamar hanya karena keributan yang akan tercipta akibat konfrontasi dirinya dengan Calvin.
Rebecca diam menunggu dengan sedikit was-was kata-kata yang akan keluar dari mulut pria dihadapannya. Tapi Calvin tak kunjung membuka suara membuat Rebecca jengah. Dari wajahnya Calvin tak gugup sama sekali ataupun tak tahu apa yang ingin diucapkan karena air wajahnya tenang tak ada gugup sedikitpun. Tapi mengapa dia hanya diam. Tak mungkin dia bisu karena tadi dengan jelas Rebecca mendengarnya berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast
RomanceItu sebutanku untuk diriku sendiri "eccedentesiast" dimana seseorang menyembunyikan kesakitannya dibalik senyuman. -Rebecca Tanur Deacon- Dulu ia adalah orang yang jahat, hatinya dipenuhi dendam yang tak berkesudahan. Tapi seiring berjalannya waktu...