Ceklek. Rebecca menutup pintu ruangan tersebut. Perlahan ia membenarkan jacket yang melingkari tubuh Olyn yang tertidur dalam gendongan. Sesekali sang anak bergerak gelisah dalam tidurnya tapi tak sampai terbangun dan menangis. Anak pintar puji Rebecca dalam hati sembari mengelus lembut punggungnya.
"Rere!" Langkah Rebecca terhenti lalu menoleh ke arah suara saat seseorang memanggilnya.
"Sedang apa?"
"Imunisasi Olyn," jawab Rebecca sekenanya.
"Mengapa tak memberitahu? Aku juga ingin mengetahui perkembangan Olyn, sekali lagi aku melewatkan tumbuh kembang anakku." Terlihat gurat kecewa di wajah pria itu.
Rebecca bingung harus menjawab apa karena memang ia tak tahu harus memberikan jawaban apa atas pertanyaan Calvin yang kentara sekali akan kekecewaan.
"Saya permisi." Rebecca berpamitan tak suka dengan suasana tak mengenakan yang terjadi diantara dirinya dan Calvin. Memang kapan suasana diantara kalian meneyenangkan?! Ejek batinnya. Ia tak suka dengan perasaan tak enak hati saat melihat gurat kecewa pria itu. Seolah ia lah yang menorehkannya. Sudah menjadi kebiasaan membawa Olyn imunisasi sendirian, hanya karena pria itu dua hari yang lalu menyatakan kesungguhannya bukan berarti ia akan bergantung padanya.
"Angin kencang diluar, Re. Tak bagus untuk Olyn. Bagaimana jika kalian ke ruanganku dulu. Nanti aku antar kalian pulang kebetulan aku parkir di basement Rumah Sakit jadi kecil kemungkinan Olyn keanginan," Rebecca mengernyit mendapat penawaran Calvin yang super ramah disertai senyum kecil. Merasa dejavu dengan sikap pria itu. Ia seolah melihat Calvin saat mereka memadu kasih dulu, sebelum pria itu berubah menjadi keparat.
"Tidak terimakasih. Kami langsung pulang saja, toh saya pun bawa mobil tidak naik angkutan umum," tolak Rebecca. Mimik wajah Calvin kembali menyiratkan kekecewaan tetapi dengan sigap berubah menjadi senyuman tipis.
"Sudah dua hari kami tidak bertemu. Aku merindukan Olyn."
"Setelah imunisasi Olyn selalu rewel. Anda bisa menemuinya lain kali."
"Aku tak akan mengganggunya, hanya melihatnya sedang tidur pun tak apa. Setidaknya kerinduanku sedikit terobati. Aku hanya ingin melihat wajah putriku." Rebecca diam tak menjawab, menelisik kebenaran pada mata pria itu atas kata-katanya barusan. Menimbang apakah ia perlu melunak dan sedikit menurunkan ego.
"Tolong izinkan, Re." Calvin kembali berkata bahkan sedikit memohon berharap mendapat kemurahan hati wanita yang pernah disakitinya berkali-kali.
Hahh. Rebecca menghela nafas. "Ayo!"
"..." Calvin hanya bengong tak mengerti seperti orang bodoh.
"Ke ruangan anda." Calvin tersenyum lalu menyusul Rebecca yang sudah berjalan didepannya. Mereka berjalan beiringan dalam sunyi menuju ruangan pria itu.
"Masuklah." Calvin mempersilahkan Rebecca masuk ke ruang kerjanya. "Aku cuma punya kopi dan air mineral? Kamu mau apa?" Tanyanya sembari tersenyum walau tipis tapi itu sebuah kemajuan.
Ada yang aneh, dia terus-terusan tersenyum. Batin Rebecca. Sepertinya perasaan pria itu sudah sedikit membaik atas kematian ayahnya. Calvin dengan cepat mengendalikan kesedihannya.
"Saya bawa air sendiri." Tangan Calvin menggantung diudara saat kembali menerima penolakan dari Rebecca, dengan kaku ia mengangguk lalu meletakan kembali gelas yang akan ia isi air.
Calvin mendekati Rebecca yang sudah duduk di sofa. "Bolehkah aku menggendongnya?"
"Jangan!" Rebecca menolak tegas. "Nanti dia akan terbiasa tidur dalam gendongan." Rebecca berdiri lalu meletakkan Olyn di sofa yang ia duduki tadi. Sofa tersebut cukup besar aman untuk tidur anaknya. Rebecca kembali duduk diujung sofa, tangannya dengan telaten menyelimuti sang anak dengan jacket.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast
RomanceItu sebutanku untuk diriku sendiri "eccedentesiast" dimana seseorang menyembunyikan kesakitannya dibalik senyuman. -Rebecca Tanur Deacon- Dulu ia adalah orang yang jahat, hatinya dipenuhi dendam yang tak berkesudahan. Tapi seiring berjalannya waktu...