Seorang pria berdiri di depan pintu ruang perawatan khusus persalinan, raut wajahnya tak terbaca, hanya gurat lelah yang tercetak jelas disana. Tubuh tinggi besarnya yang biasa selalu berdiri tegap arogan dan penuh kesombongan, kini tak setegap dulu, tubuhnya membungkuk dengan kepala tertunduk seolah beban berat yang tak kasat mata sedang ditanggungnya, bukan hanya di kedua pundaknya tapi juga ada di kepalanya. Walau sorot matanya masih setajam dulu, tapi percayalah pancarannya tak sepercaya diri dulu, ada rasa malu dan minder yang kentara.
Beberapa kali ia memejamkan mata saat rintihan demi rintihan seseorang di dalam sana tertangkap oleh indera pendengarannya, serta tangisan yang sama pilunya saat ia meninggalkan dengan kejam wanita itu dua bulan yang lalu. Mengapa jika berhubungan dengan wanita itu ia selalu menjadi pria pengecut? Semenjak dua hari yang lalu yang dilakukannya hanya diam berdiri bak seorang pengawal yang sedang menjaga kamar perawatan tuannya. Untuknya seorang pengawal masih lebih tinggi derajatnya dari pada dia, seorang pengawal masih bisa menegakkan kepalanya jika berhadapan dengan tuannya, tapi tidak dengan pria itu. Jangankan untuk bertemu seseorang yang amat ia rindukan di dalam sana, untuk bertemu keluarganya pun ia malu. Malu karena kelakuannya yang melebihi binatang. Ia akan bersembunyi jika ada gerak-gerik seseorang akan keluar dari ruangan tersebut, tak punya muka hanya untuk bertemu keluarganya. Kini pria itu tak memiliki apapun hanya untuk bertatap muka dengan wanita itu, harga diri, rasa malu dan kepercayaan dirinya lenyap berbarengan dengan surat cerai yang ia serahkan sebelah pihak pada wanita itu dua bulan yang lalu.
Ia mengutuk dirinya sendiri yang tak hanya pengecut tapi juga plin plan, tak konsisten dengan apa yang telah dipilihnya. Dua bulan lalu dengan sikap sok pahlawannya, ia menyerahkan surat cerai bermaksud untuk melepaskan wanita itu dari kungkungannya, berharap setelah itu 'wanitanya' akan bahagia. Dan dia akan menjalani hukumannya dengan menyerahkan sisa hidupnya pada wanita yang tidak dicintainya. Tapi lihatlah sekarang, baru dua bulan berselang ia sudah melanggar komitmennya. Sungguh, ia bukan pria yang suka melanggar janji yang sudah ia buat, tapi jika semuanya berkaitan dengan wanita di dalam sana yang saat ini tengah menangis tersedu-sedu, ia selalu akan melanggar prinsipnya. Ia mengepalkan kedua tangan disamping tubuhnya saat sesuatu dalam dirinya memaksanya untuk masuk, ingin sekali memeluk dan menenangkannya. Walau tak bisa menggantikan rasa sakit wanita itu, tapi setidaknya ia bisa meredakan tangisannya. Dengan segenap jiwa, ia menahan hasrat kuat itu, cukup sampai disini ia bertindak, ia tak mau lagi menuruti egonya dan berakibat menyakitinya lagi. Karena ia yakin setiap tindakannya yang gegabah itu, akan selalu berhasil menyakiti hati 'wanitanya'.
Wanitanya
Ia merutuki dirinya sendiri yang selalu meng-claim kepemilikan atas wanita itu. Sampai detik ini, bukan hanya sebagian hatinya tapi seluruh hatinya masih tidak rela melepaskan wanita itu, tidak sepert mulutnya yang berujar sok heroik. Mengapa hati dan mulutnya selalu tak sejalan? disaat ia ingin mengikuti kata hatinya, keadaanlah yang lebih dulu menyuarakan dengan keras sikap tak sukanya.
Pria itu sedikit menyingkir saat beberapa orang dokter dan suster datang terpogoh-pogoh memasuki kamar wanita itu.
Ada apa ini???? Apakah sudah waktunya???
Jantungnya berdegup kencang saat perasaan khawatir melanda sekujur tubuhnya. Tangannya terasa begitu dingin menunggui sesuatu yang tak pasti. Ia tak tahu apa yang terjadi sebenarnya di dalam sana, hanya menduga-duga sesuka hatinya. Perasaannya bercampuk aduk antara khawatir dan tegang.
Apa yang terjadi????
Sudah sering ia menangani proses persalinan dengan berbagai kondisi bahkan Dalila pun ia yang membantu proses persalinannya, tapi tak pernah ia begitu tegang seperti ini. Bahkan sekarang otaknya seperti lumpuh tak bisa memikirkan apapun, ilmu yang ia dapat selama sekolah bertahun-tahun ditambah pengalamannya hilang tak berbekas dari otaknya. ia mendadak jadi orang bodoh saat mendengar erangan penuh kesakitan wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast
RomanceItu sebutanku untuk diriku sendiri "eccedentesiast" dimana seseorang menyembunyikan kesakitannya dibalik senyuman. -Rebecca Tanur Deacon- Dulu ia adalah orang yang jahat, hatinya dipenuhi dendam yang tak berkesudahan. Tapi seiring berjalannya waktu...