22 - Mati rasa

5.7K 526 42
                                    

Hari ini Bandung kelabu, kota kembang tersebut diguyur hujan tak henti-henti. Derasnya hujan di pagi hari menjadi pengantar untuk kembali bergelung di bawah selimut, terlebih hari ini hari sabtu waktu dimana orang-orang habiskan hanya untuk istirahat atau sekedar berkumpul dengan orang-orang terkasih. Rintikan air hujan yang menyentuh apa saja yang dilewatinya menjadi nyanyian alam yang begitu menenangkan. Mungkin untuk sebagian orang, datangnya hujan adalah hal yang biasa tapi lain halnya dengan Rebecca yang selalu senang jika hujan tiba. Hujan bukan hanya membawa keberkahan bagi semua makhluk dimuka bumi, tetapi juga menjadi teman Rebecca saat wanita itu sedang bersedih. Seringkali Rebecca meluapkan kesedihannya saat hujan tiba karena dengan begitu ia tak merasa sendiri. Tak ada orang yang bersedih untuknya tak apa, tetapi setidaknya alam ikut menemani kesedihannya. Alam ada untuk menunjukkan bahwa Rebecca tak sendiri. Begitupun dengan hari ini, Rebecca duduk termenung di halaman belakang rumahnya berselimutkan dinginnya angin pagi kota Bandung yang menusuk sembari menikmati setiap rintikan air yang jatuh ke tanah. Kegamangan hatinya membuat dirinya terjaga sepanjang malam, setiap malam selama seminggu ini tidurnya tak pernah nyenyak, hatinya gelisah tak tentu rasa.

"Tidurlah sayang." Rebecca mencium kening Olyn lalu menyelimuti mereka berdua, tangannya dengan hangat memeluk sang anak yang kini masih membuka mata, enggan untuk tidur.

"Olyn kangen Papa," Ujarnya yang membuat Rebecca menghembuskan nafas pelan. Sudah seminggu lamannya semenjak Calvin mengikuti seminar di luar kota, Olyn selalu merengek setiap menjelang tidur. Walaupun mereka selalu melakukan video call di sela-sela waktu istirahat pria itu, nyatanya tidak sepenuhnya mengobati kerinduan sang anak.

Rebecca mengusap rambut anaknya. "Papa kan lagi kerja sayang, kalo Papa nggak kerja biasanya juga main sama Olyn. Tadi kan Olyn udah video call sama Papa." Ia mencoba menjelaskan agar anaknya mengerti.

"Olyn pengen peluk Papa. Olyn pengen berenang ditemani Papa." Olyn merajuk dan Rebecca semakin mengeratkan pelukannya.

"Mama bisa temenin Olyn berenang."

"Olyn pengen ditemenin sama Papa dan Mama bukan satu-satu. Kenapa Mama selalu nggak ikut saat Olyn dan Papa pergi?" Olyn memilin kedua tangannya diatas dada.

Mata Rebecca berair, ia pikir anaknya baik-baik saja dengan ketidakhadirannya jika Olyn pergi dengan Calvin. Ternyata Rebecca salah, anaknya sudah mulai merasakan ada yang aneh dengan keluarganya.

"Olyn ingin pergi dengan Mama dan Papa?" Anaknya mengangguk mantap tanpa keraguan membuat hati Rebecca mencelos seketika. "Olyn juga ingin tidur bareng Mama dan Papa." Mata yang biasa selalu ceria kini meredup, siap menangis. Hati Rebecca terluka melihat kesedihan anaknya, satu persatu air mata membasahi pipinya. Ia tak menyangka waktunya akan secepat ini, demi Tuhan Olyn baru berumur dua tahun bagaimana bisa anaknya mulai mengerti jika keluarganya berbeda. Rebecca tak menyadari jika anaknya sangat sensitive dengan setiap perubahan dilingkungannya. Pada saat Calvin belum hadir dalam kehidupan sang anak, Olyn seperti sudah tersetting untuk selalu mengerti keadaan sang Mama yang single parent, anaknya itu tak pernah rewel jika ditinggal bekerja juga jarang sakit mengerti jika ia sakit akan membuat Mamanya extra bekerja keras. Tetapi semenjak Calvin hadir, Olyn seperti melihat oase ditengah padang pasir. Sang anak bertingkah aktif ingin melakukan ini dan itu, ingin ditemani ini dan itu, tidak hanya diam menunggu Rebecca yang berinisiatif. Olyn seperti merasakan bahwa keadaan sudah 'aman' untuk dirinya berprilaku layaknya anak seusianya.

Rebecca tak bisa menahan tangisnya saat sadar bahwa kesedihan Olyn hadir akibat ia yang terlalu mementingkan egonya. Jika saja ia mau sedikit saja mengesampingkan ego dan harga dirinya untuk kebahagian sang anak, Olyn tidak akan merasakan ini.

Haruskah ia kembali mengalah?????

Semenjak percakapan seminggu lalu itu, hatinya gamang berpikir keras mencari solusi terbaik untuk kebahagian sang anak. Walau sebenarnya Rebecca tahu jawaban pastinya tetapi hatinya terus memungkiri, apakah ada jalan lain selain menikah dengan pria itu? jawabannya adalah tidak ada. Jika dipikirkan dengan baik-baik sebenarnya tak ada yang salah menikah dengan Calvin. Pria itu sudah membuktikan bahwa dirinya sudah berubah dan menjadi ayah tarbaik bagi putrinya, pun juga dengan sabar memperlakukan Rebecca dengan baik ditengah sikap dingin yang ia berikan. Entah mengapa hatinya tak kunjung luruh, ia seperti mati rasa atas semua perbuatan baik yang dilakukan Calvin untuknya dan Olyn. Ia selalu beranggapan jika sudah sepantasnya Calvin menyayangi Olyn karena Olyn adalah anaknya, jadi tak ada yang istimewa di matanya. Begitu juga dengan perlakuan baik pria itu padanya, ia merasa Calvin hanya sedang bersikap baik pada ibu dari anaknya dan mungkin menebus kesalahannya terdahulu, dan menurut Rebbeca itu hal sangat wajar, lagi-lagi tak membuat hatinya tergugah. Ia tahu ada yang salah dengan hatinya tapi ia sendiri tak tahu harus bagaimana memperbaikinya.

EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang