Cuaca kota Bandung sedang tidak bersahabat, maklum musim penghujan sudah tiba. Hujan lebat disertai angin kencang membuat emperan Toko, halte bus atau apapun saja yang sanggup menjadi perantara antara air hujan dan tanah penuh oleh orang-orang yang meneduh, melindungi dirinya dari berkah yang Tuhan turunkan. Tetes demi tetesnya yang terkadang dijadikan tumbal oleh manusia sebagai penyebab bencana, sebenarnya adalah rezeki yang tak terhitung nilainya.
Sepasang mata hitam legam tengah memandangi setiap bulir air hujan yang melewati kaca mobil yang sedang ditumpanginya. Dengan pikiran yang entah kemana, tanpa sadar tangannya terangkat lalu jari-jarinya menempel pada kaca tersebut yang menjadi penghalang antara dirinya dan bulir air hujan yang menjadi obyek menariknya saat ini. Sudut bibirnya tertarik sedikit, begitupun dengan pancaran matanya, binar akan kebahagiaan. Setiap hujan datang, otomatis ia akan teringat dengan seseorang. Seseorang yang sangat ia rindukan, belahan jiwa, dan nyawa hidupnya. Tanpanya ia tak yakin akan berada sampai titik ini. Seseorang yang bagaikan hujan menurutnya, berkah untuk dirinya tapi bencana untuk sebagian orang, mungkin.
Puluhan meter jarak terbentang sudah dilaluinya, mengikisnya untuk bertemu orang yang amat disayanginya. Kala hati sudah mengambil alih, akal pun tak bisa berkutik. Itulah yang dirasakannya, lelah dan capek yang tubuhnya rasakan tak digubrisnya tat kala kerinduan sudah membuncah di relung hati, bahkan cuaca yang seperti sedang menghalangi, tak sedikitpun menggoyahkan niatnya. Langkahnya mantap saat keluar dari lobi hotel dengan punggung menggendong ransel, tangan kanan menggeret koper serta tangan kiri yang memegang payung. Sedikit saja pegangannya mengendur sudah dipastikan payungnya akan terbawa oleh angin kencang. Diterjangnya cipratan air hujan yang mengenai sebagian tubuh, tak dihiraukan lagi sepatunya basah akibat genangan air yang sudah semata kaki di permukaan jalan.
Langit sudah berubah warna, semburat jingga tak lagi menghiasi hamparan samudra diatas sana. Berganti dengan pekatnya malam yang menyelimuti sebagian bumi belahan timur. Jam dipergelangan tangannya menunjukkan pukul 20.00 WIB, yang berarti sudah lima jam perjalanan yang ia tempuh untuk bisa sampai dari Jakarta ke Bandung. Kemacetan yang diakibatkan oleh banjir yang menggenangi hampir seluruh ruas jalan menyebabkan perjalanannya terasa sangat lama, biasanya waktu yang ditempuh dari stasion ke rumahnya hanya memakan waktu empat puluh lima menit, tapi sekarang sudah dua jam ia berada di taksi online tapi belum juga sampai rumah. Matanya tak lepas dari kaca mobil, mengamati setiap gerik-gerik orang-orang diluar sana, karena tak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk mengisi kebosanan. Handphonenya low bat dan tak mungkin juga ia mengeluarkan laptonya, terlalu ribet apalagi benda itu ada di dalam ransel yang disimpan di bagasi.
Ia mengetuk-ngetuk kaca mobil dengan jarinya yang memucat, terlalu lama kedinginan. Baju dan sepatu yang tadinya basah, kini kering dari panas tubuhnya sendiri akibat terlalu lama dipakai. Perasaannya mulai jengkel dengan keadaan yang ada dimana kemacetan tak kunjung terurai dengan pengendara motor yang tak menaati lalu lintas menambah kesemrawutan jalan raya.
21.30 WIB. Ia menghela nafas lega saat memasuki kawasan perumahan tempat tinggalnya. Walau kesal karena molornya waktu kepulangannya, ia tetap bersyukur karena sampai dengan selamat. Tak apalah dengan kemacetan yang melanda, toh ia juga tak bisa berbuat apa-apa, ia tak bisa menyalahkan salah satu pihak, disini semuanya ikut andil dalam menyebabkan masalah tersebut. Sistem drainase yang kurang baik, kurangnya kepedulian masyarakat untuk tidak membuang sampah pada saluran air, kurangnya lahan resapan air serta lonjakan kendaraan yang tidak sebanding dengan pertambahan luas jalan. Itu semua aspek yang menyebabkan dan semua lapisan berperan dalam merealisasikannya.
Ia turun dari mobil lalu menenteng ranselnya sang sudah dikeluarkan bapak supir tersebut dari bagasi.
"Berapa pak?"
"Lima puluh enam ribu Neng." Ujar bapak tersebut dengan wajah tak kalah lelah dengan wajah penumpangnya.
Dikeluarkan selembar uang lima puluh ribu dan sepuluh ribu, lalu diberikan pada bapak tersebut. "Nggak usah dikembalian pak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast
RomanceItu sebutanku untuk diriku sendiri "eccedentesiast" dimana seseorang menyembunyikan kesakitannya dibalik senyuman. -Rebecca Tanur Deacon- Dulu ia adalah orang yang jahat, hatinya dipenuhi dendam yang tak berkesudahan. Tapi seiring berjalannya waktu...