8-Dirinya yang Meragu

6.5K 584 28
                                    

Secara alamiah bibirnya melengkung membentuk senyuman manis saat melihat keluarga kecil yang berada tidak terlalu jauh dari tempat Rebecca duduk, tengah bercengkrama dengan indahnya membuat siapapun yang melihat akan menengok dua kali. Mereka bukan keluarga sempurna dengan ayah dan ibu serta anak dengan paras luar biasa yang akan membuat siapapun iri dibuatnya, bukan. Mereka hanya keluarga kecil yang menurut Rebecca amat sangat luar biasa. Anak mereka yang tidak sempurna entah karena apa tidak membuat kedua orang tuanya malu membawa anaknya ke area publik dimana banyak orang akan melihatnya bahkan tak sedikit yang menghampirinya hanya untuk tanya-tanya soal keadaan anak mereka. Bukannya tersinggung mereka malah dengan terbuka menceritakan keadaan anak mereka dan selalu meminta doa restu untuk kesehatan anak mereka. Terlihat sekali mereka sangat menyayangi dan bangga pada anak mereka. Jika dilihat, kedua orangtua dari anak tersebut umurnya masih di bawah Rebecca, mungkin pertengahan kepala dua. Tapi dengan dewasanya senyuman selalu tergurat di wajah mereka, tak pernah ia melihat raut wajah sedih apalagi malu saat mereka sedang berkumpul. Sudah satu bulan rutinitas ini dilakukan oleh Rebecca, duduk diam menyaksikan interaksi keluarga kecil tersebut yang selalu bisa membuatnya tersenyum.

Mungkin dulu ia tak akan pernah menganggap keluarga itu luar bisa, mungkin dulu ia akan mencibirnya dan memandangnya sebelah mata. Tapi sekarang setelah apa yang ia lalui, setelah merasakan ada makhluk kecil karunia Tuhan yang tumbuh di dalam tubuhnya, dan setelah melihat dengan seksama kehangatan, kedekatan dan solidnya keluarga kecil tersebut membuat Rebecca sadar apa sebenarnya yang ia inginkan dari sebuah keluarga. Ia menginginkan keluarga yang diliputi dengan cinta. Ia tidak menginginkan keluarga yang bergelimang harta, juga tidak mengharapkan pasangan atau keturunan dengan paras yang bisa membuat orang lain iri. Dari sepengetahuannya keluarga seperti itu tak bertahan lama, karena dirinya sendiri mengalami bagaimana keluarganya hancur perlahan-lahan, walau orang tuanya tidak bercerai tapi hubungan mereka juga tidak bisa dikatakan baik.

Tapi untuk sekarang, mungkin Rebecca harus menahan keinginannya tersebut karena sepertinya cukup sulit untuk mewujudkannya. Pernikahannya bukan seperti pernikahan kebanyakan, entah apa landasan pernikahan mereka, yang pasti bukan cinta. Pernikahannya yang sudah satu bulan lebih berjalan itu terasa semakin berat untuk dijalani. Sangat tidak harmonisnya hubungan ia dan 'sang suami', sepertinya bisa dirasakan oleh anaknya. Karena beberapa hari belakangan anak yang berada dalam kandunganya itu mulai berulah, setiap bertemu dengan Calvin dan satu ruangan dengannya tiba-tiba rasa mual selalu menyerangnya, awalnya ia tak berpikiran apapun, hanya aneh saja karena rasa mual itu sudah tak pernah ia rasakan lagi semenjak kehamilannya menginjak bulan kelima, tapi rasa mual itu terasa lagi baru-baru ini di bulan kedelapan kehamilannya, kapanpun saat ia berada satu ruangan dengan pria itu.

Mungkin jika dulu ia bisa menanganinya dengan baik karena dari pagi sampai sore ia bekerja jadi intensitas bertemu dan satu ruangan dengan Calvin sangat jarang.  Walaupun keadaan masih sama yaitu ia bekerja, tapi intensitas pertemuan mereka atau hanya saling berpapasan dalam satu ruangan semakin intens terjadi karena yang pertama pria itu menjadi dokter kandungannya, seberapa keraspun ia menolak keinginan pria itu selalu dan pasti terlaksana. Fuck it!!  tapi itu tak terlalu membebaninya karena ia cukup menahan mual beberapa jam dan itu hanya terjadi sebulan sekali. Dan untuk alasan yang kedua ini, amat sangat menyiksanya karena kamar pasutri itu yang awalnya berada di lantai atas, pindah ke lantai bawah karena usia kehamilan Dalila yang sudah berusia sembilan bulan dan kamar mereka persis bersebelahan dengan kamarnya. Shit!! Berpengaruh untuk Rebecca??? jawabannya adalah tidak sama sekali jika anaknya itu tidak berulah. Awalnya ia bersikap cuek bahkan tak menganggap mereka ada jika saling berpapasan saat keluar kamar, tipa itu tak bisa dilakukannya lagi, ia mati-matian menghindari pria itu dengan tidak pernah lagi sarapan atau makan malam di  meja makan, ia usahakan berangkat lebih pagi dan pulang dengan keadaan perut terisi penuh meminimalisir agar tak satu ruangan dengan pria itu, bahkan ia berusaha untuk tidak melihatnya walau hanya dari jauh. Rasa mualnya semakin tak terkendali saat weekend , karena pria itu full seharian di rumah menjaga istri tercintanya yang sebentar lagi akan melahirkan. Seharian ia akan merasa mual membuat apapun yang ia makan akan keluar kembali, dan itu sangat menyiksanya. Terkadang ia pergi tanpa tujuan hanya agar rasa mual tak menyerangnya. Melelahkan? sangat apalagi dimana seharusnya ia beristirahat sehabis bekerja, ia malah terkulai lemah di kamar mandi karena harus memuntahkan kembali apa yang ia makan sebelum pulang. Yang paling berat adalah ia harus menahan tangis dan teriakannya saat rasa mual yang tak kunjung mereda walau hidung dan kerongkongannya terasa sangat perih. 

EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang