22. The Truth

1K 167 14
                                    

Aku dan Jimin melangkahkan kaki bersama menuju rumahnya. Rumah yang besar. Jika aku bandingkan, jauh lebih besar rumah Keluarga Park dibanding rumahku sendiri. Memang aku akui, keluarga mereka lebih kaya dengan cabang usaha dimana-dimana.

Jimin menggenggam tanganku erat lalu sesekali memandangku dengan bahagia. Aku membalas senyuman itu sambil menggenggam erat bucket mawar putih ukuran kecil dengan tangan kananku.

Sejenak, aku melirik ke arah mawar. Ada apa dengan mawar putih? Aku lupa. Mengapa rasanya begitu akrab, menenangkan sekaligus menyedihkan diwaktu yang sama.

Saat berjalan melewati pintu utama, para pelayan berbaris menanti kami.
"Apa pelayanmu sebanyak ini?" Bisikku.

"Iya. Tapi biasa mereka tidak berdiri disini."

"Lalu?"

"Mereka hari ini sengaja untuk menyambutmu."

"Kenapa lebai sekali?" Mendegar itu Jimin tak menatapku namun senyum tipisnya dapat kulihat dari samping.

Kami kemudian meneruskan perjalanan menuju lantai dua dengan sebuah lift, beberapa menit kemudian kami tiba disebuah kamar.

Pintu dibuka perlahan oleh Jimin, perlahan tapi pasti pula jantungku berdegub kencang.
"Tunggu sayang.." Jedaku saat pintu sudah terbuka setengahnya.

"Kenapa?" Tanyanya lalu melepaskan pegangan pada gagang pintu.

"Firasatku tidak enak." Jawabku jujur. Namun aku cukup dibuat kesal dengan reaksinya.

"Ck! Sejak kapan kau berfirasat-firasat seperti itu." Ia pun menggenggam tanganku yang satu lagi lalu membawa ku kedalam dengan terburu-buru. Aku pun menghembuskan nafas berat dan megikuti langkahnya.

Dan, disinilah aku terpaku. Seluruh tubuhku terasa nyeri dan kaku dalam waktu yang bersamaan.

"Ibu, dia kekasihku. Kang Seulgi." Kata Jimin, cepat dan penuh penekanan.

Seseorang yang duduk bersandar dikepala kasur itu memandangku tanpa henti. Tawa bahagia nya terurai jelas dari raut wajah yang ia tunjukkan. Wajah rindu, penuh kerinduan. Ia memandang ke arah Jimin sesaat lalu kembali memandangku.

Aku terdiam dengan seribu bahasa, tanganku lemas hingga se-bucket mawar putih yang ku pegang terlepas hingga terhempas ke lantai.
Aku memandang Jimin yang juga sedang memandangku dengan tatapan heran. Bagaimana cara aku mengatakan kepadanya bahwa Ibunya adalah eomma ku? Sesuatu yang mustahil terlebih kami adalah pasangan kekasih.

"Kenapa diam saja? Sapa ibuku. Ayo.." Katanya buru-buru.

Aku masih terdiam namun berusaha keras menyuarakan keinginan ku sekarang. "Jim-" kataku dengan nada bergetar. "Jimin-ah. Maafkan aku. Mari kita bertemu i-bu-mu lain kali."

"Kenapa? Kau sudah melihatnya. Tinggal sapa saja sayang."

"Tapi Jim-" belum sempat aku berkata banyak, Jimin sudah menggenggam tanganku yang dingin dan berkeringat. Ia pun melihat bucket
bunga yang jatuh tepat dibawahnya.

"Aku mau pulang."

Jimin memandangku dengan tatapan tak percaya. Pacar macam apa yang takut bertemu calon mertua? Jika memang ia berfikir seperti itu, aku tidak perduli. Dia bukan calon mertuaku, dia eommaku, ibu kandungku.  Kemudian, tanpa babibu lagi aku segera keluar kamar meninggalkan mereka.

Author PoV

"Eomma, maafkan Seulgi ya. Barangkali dia sedang tidak sehat." Jimin duduk disebelah Ibunya. Memegang tangan ibunya yang juga sangat dingin dan berkeringat seperti Seulgi.

 PRINCESS WITH A CHARMING BOY [1-33 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang