17. Light and Rain

359 16 7
                                    

... sebelumnya ...
Rasa sakit akan kenangan itu datang lagi dan Lluvia hanya bisa menghela napas panjang sambil tersenyum getir. Setelah menenangkan diri untuk beberapa saat, akhirnya Lluvia berhasil mengumpulkan tekadnya untuk beranjak memasuki gereja.

 Setelah menenangkan diri untuk beberapa saat, akhirnya Lluvia berhasil mengumpulkan tekadnya untuk beranjak memasuki gereja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BEBERAPA hari setelah hari pernikahan Aloysius dan Sarah, Lluvia pun kembali ke Perth. Di dalam pesawat yang membawanya dari Jakarta menuju Perth, Lluvia sedikit melonggarkan kendali dirinya dengan membiarkan memorinya merecall hari-hari dan juga kenangan-kenangan yang pernah ia lalui dan alami bersama Ferdy. Saat ia sampai pada kenangan tentang tragedi yang mereka alami di rumah sakit, Lluvia melepas kacamatanya, meletakannya di meja di depannya, lalu memijat pangkal hidungnya dengan mata terpedam.

Saat Lluvia berniat mengambil kacamatanya beberapa saat kemudian—tetap dengan mata terpejam—ternyata tangannya malah menyenggol kacamatanya hingga hampir terjatuh.

"Heeik ...!" seru Lluvia terkejut sambil berusaha meraih kacamatanya sebelum benar-benar terjatuh. Beruntung bagi Lluvia, karena penumpang di sebelahnya memiliki daya refleks yang lebih baik daripada dirinya sehingga dapat menangkap kacamata itu sebelum benar-benar terjatuh.

"Hhhh ... syukurlah ...," bisik Lluvia sambil mengelus dadanya. Lluvia pun mendongakkan kepalanya untuk berterima kasih sekaligus meminta maaf kepada penangkap kacamatanya. Kata-kata Lluvia terhenti di ujung lidah saat melihat wajah tampan pria yang duduk di sampingnya itu.

"Kamu baik-baik saja?" tanya pria itu ramah dengan nada bingung, menyadarkan Lluvia yang tercengang memandangnya.

"Oh. Eh ... tidak apa-apa. Eh ... maksudnya iya, aku baik-baik saja. Maaf ... eh ... maksudnya terima kasih sudah bersedia mengangkap kacamataku, maaf sudah merepotkan," ujar Lluvia setengah terbata-bata. Pria itu tersenyum kecil melihat tingkah Lluvia dan hal itu membuat wajah Lluvia memerah. Gadis itu pun mengalihkan pandangannya keluar jendela untuk menyembunyikan wajahnya.

"Perkenalkan, namaku Rayo ... Wenseslaus Rayo," sahut pria itu tiba-tiba, yang membuat Lluvia kembali mengalihkan pandangannya ke pria itu. Lluvia memandang wajah ramah—walaupun terkesan gugup—pria itu dengan bingung. Tidak lama Lluvia pun tersenyum.

"Alexandra Lluvia," ujar gadis itu sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Rayo yang sudah lebih dulu terulur. Pria itu pun langsung tersenyum lega saat Lluvia menjabat tangannya.

• ❖ •

"SEPERTINYA Departemen Quality sedang sibuk sekali ya akhir-akhir ini?" tanya Rayo membuka pembicaraan. Lluvia mengangguk dengan semangat walaupun dengan mimik lelah.

"Sering lembur juga, kan?" tanya Rayo lagi. Lagi-lagi Lluvia menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

"Untung saja aku diperbolehkan mengambil cuti untuk pulang saat itu. Semuanya gara-gara kepala kepala Departemen Quality diganti."

"Mr. Lancaster?"

"Yep. Beliau merasa bahwa sistem quality yang digunakan oleh Mrs. Hunter kurang memberi manfaat dan terlalu berbelit-belit. Selain itu—" Lluvia menghentikan kalimatnya sampai di situ dan melihat Rayo dengan tatapan terkejut sekaligus menyelidik.

"Ada apa?" tanya Rayo bingung mendengar kalimat yang terputus itu.

"Kenapa Anda bisa tahu bahwa saya bekerja di Departemen Quality dan akhir-akhir ini sering lembur?" selidik Lluvia dingin. Rayo terdiam dengan mimik tegang saat mendengar pertanyaan Lluvia itu.

Lluvia tidak memaksa Rayo untuk menjawab pertanyaannya, tapi aura dingin yang dikeluarkan oleh Lluvia sudah cukup untuk membuat Rayo mengaku. Setelah sempat terdiam selama beberapa saat, akhirnya pria itu mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan sebuah kartu nama kepada Lluvia yang menerimanya dengan bingung.

"Wakil Kepala Departemen Arsitektur?!!" seru Lluvia tidak percaya saat membaca kartu nama yang mencantumkan bahwa Rayo bekerja pada kantor yang sama dengannya dengan jabatan Wakil Kepala Departemen Arsitektur. Rayo mengangguk.

"Aku bekerja di kantor yang sama denganmu," tegas pria yang lebih tua lima tahun dari Lluvia itu. "Dan aku sudah lama memperhatikanmu," lanjut Rayo yang membuat Lluvia tidak bisa menutup menutup mulutnya yang menganga karena terkejut.

"You must be kidding me, sir!" seloroh Lluvia tidak percaya.

"No, I'm not!" hardik Rayo tegas. Lluvia menggeleng tidak percaya.

"Kau tahu kenapa aku ada di sini saat ini?" tanya Rayo yang dijawab dengan sebuah gelengan dari Lluvia. "Itu karena Ramona mengatakan bahwa kau akan pulang ke Indonesia untuk menghadiri pernikahan Sarah dan Aloysius."

"Ramona teman satu apartemenku?" tanya Lluvia bingung. Rayo mengangguk.

"Dia juga memberitahuku tentang siapa itu Aloysius, maka dari itu aku pun pulang ke Indonesia dan mengikutimu sampai ke acara pernikahan itu." Lluvia tercengang saat mendengar penuturan Rayo itu.

"Kenapa ... kenapa kau melakukan hal itu?" tanya Lluvia bingung.

"Melakukan apa?" tanya Rayo tidak kalah bingung.

"Mengikutiku pulang ke Indonesia dan ke acara pernikahan Sarah dan Aloysius." Rayo terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab,

"Aku sudah mengatakan bahwa Ramona bercerita kepadaku tentang siapa itu Aloysius, kan?" Lluvia menganggukkan kepalanya sebagai tanggapan atas pertanyaan Rayo itu. "Nah ... dia juga bercerita padaku tentang siapa itu Ferdy ...." Rayo berhenti sejenak.

"Aku mengikutimu karena aku takut kau akan kembali jatuh cinta dengan Ferdy kalau kau bertemu lagi dengannya. Kalau itu terjadi, aku tidak akan punya kesempatan untuk mendekatimu ...." Rayo mengakhiri penjelasannya dengan wajah memerah. Lluvia semakin tercengang saat mendengar penjelasan Rayo itu.

"Kau ... itu ... maksudnya ... kau menyukaiku?" tanya Lluvia tidak percaya. Rayo mengangguk dengan wajah yang semakin memerah sambil bergerak-gerak dengan gelisah di kursinya.

Lluvia yang pada awalnya tercengang-cengang mendengar semua penuturan dan pengakuan Rayo itu perlahan-lahan mulai tersenyum kecil yang membuat wajah Rayo semakin memerah dan gesture tubuhnya semakin gelisah.

Dan kini semuanya telah selesai kulakukan sehingga aku bisa mulai melangkah untuk mencari bahagiaku. Rayo* dan Lluvia**. Hmm ... mungkin kami bisa menciptakan pelangi, hujan kan akan menciptakan pelangi jika disinari oleh sinar matahari. Yah... walaupun dia hanya sinar, tapi kurasa itu sudah cukup, oceh Lluvia geli dalam hati.
*[SP] Sinar
**[SP] Hujan

"Terima kasih ...," ucap Lluvia tulus yang mampu membuat Rayo mendongakkan kepalanya dan menatap gadis itu dengan bingung dan berharap.

"Sekarang tolong ceritakan tentang dirimu. Rasanya tidak adil karena kau tahu begitu banyak tentang diriku sedangkan aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang dirimu," lanjut Lluvia ramah yang langsung disambut oleh senyum cerah Rayo.

 Rasanya tidak adil karena kau tahu begitu banyak tentang diriku sedangkan aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang dirimu," lanjut Lluvia ramah yang langsung disambut oleh senyum cerah Rayo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cerita Lluvia [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang