15 February 2019Aku hanyalah penulis tanpa setetes tinta diatasnya. Beberapa huruf yang berjajar di karanganku, sepertinya tidak bisa mengubah dirimu, dirinya, orang bisu itu.
Terimakasih, tapi aku harus mengakhirinya.
Gadis itu masih sedikit menangis membaca ulang tulisan tangan yang ia buat tadi malam, padahal janjinya kemarin ia tidak akan menangis lagi malam ini. Namun tangis bukanlah alarm yang bisa ia atur setiap saat. Tangis adalah balon helium yang bisa meledak kapan saja, dimana saja.
Berani atau tidak ia akan mengambil keputusan.
"Maafkan aku,"
Perlahan ia menuruni anak tangga, dengan tangan kiri sedikit gemetar dan tangan kanan membawa benda berbahaya yang sudah ia siapkan.
"Maafkan a-aku,"
Ia menegakkan kepala, bocah itu tidak mau lagi setetes air asin jatuh dari mata kemudian terjun ke pipinya. Apapun telah ia pikirkan matang-matang.
"Maafkan aku,"
-
Bello i am back!, jadi aku akan bikin short story lagi dengan judul "Karangan Tanpa Tinta."
Ini akan memakan berpuluh2 part i guess.
Tapi disini lah kita mulai bersama-sama
:)
Ceritanya rada serius jadi di part-part berikut nya jarang ada note kayak gini hihi. Takut feel nya ilang.Semangatt
Dan
Salam literasi Indonesia-Gaza Adissa 5 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Karangan Tanpa Tinta
Contocover by : betterdavis [complete] Di era digital sekarang ini kita lebih banyak menerima email daripada surat dari pak pos yang sangat kuno. Begitu pula dengan Saddam, remaja yang hanya berkutat dengan pembelajaran dan juga karya ilmiah dituntut un...