karangan dua puluh tiga-bagian dua

1 2 2
                                    


Sesampainya di depan rumah Zerra, gadis itu langsung meloncat dari motor Saddam dan berlari menuju pagar, lampu di depan rumahnya berkedip-kedip sepertinya ada yang salah dengan Mama. Gawat!

"Mama?!" Zerra berteriak, Saddam masih mengamatinya dari luar. Meskipun keringat dingin mulai merambat ke seluruh tubuh Saddam namun dirinya harus memastikan tidak ada yang terjadi dengan Zerra.

"Mama?!" Zerra masih berteriak dari luar. Tidak lama suara batu berhantaman dengan kaca jendela membuat Zerra menjerit dan bertiarap. Kaca jendela rumahnya pecah berkeping-keping, dirinya menangis sementara dirinya terjerembab diatas tanah.

"Zer! Bangun Zer ayo!" Saddam menarik Zerra namun Zerra memberontak.

"Mama!" Zerra berlari masuk mencoba mencari Mamanya, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Mama, Zerra pulang!" Zerra berteriak di tengah tangisnya.

Sosok yang Zerra tangisi akhirnya menampakkan diri, wanita yang semakin memperlihatkan kerutan di wajahnya itu melihat Zerra dengan kebingungan.

"Zerra pulang dengan siapa?" Mamanya memperlihatkan tatapan benci pada Saddam. Perempuan paruh baya itu selalu membenci lelaki yang datang ke rumah ini, siapapun.

Zerra tersadar, dirinya segera berlari menuju Saddam dan menutupi temannya itu.

"Saddam Ma, Saddam baik Ma, Saddam Ma-"

Ucapan Zerra terpotong saat sebuah piagam kayu melayang mengenai dahi nya, Saddam meraih Zerra dan mereka berdua pergi.

"Sudah Mama bilang, Zerra jangan bersama lelaki itu!" Suara Mama masih terdengar smar di telinga Zerra, membuatnya terus menangis di tengah sepda motor Saddam yang melaju kencang.

-

Mata kosong Zerra menatap Bunda Saddam yang mengobati lukanya dengan teliti. Pukul sebelas lebih lima puluh, satu jam yang lalu Zerra tiba di rumah Saddam dengan keadaan yang masih terisak. Saddam menelepon Joel supaya menginap di rumahnya, dan Bunda terbangun dari tidur singkatnya dengan perasaan kalut.

Mereka berempat, dan Slamet berkumpul di kamar Saddam diliputi sepi yang mengepul seperti awan mendung.

"Dia Mama gue Dam," tiba-tiba mulut Zerra mengucapkan hal itu tanpa aba-aba. Tatapannya masih kosong tanpa memihak siapapun.

"Bagaimana gue bisa hidup sama Mama, tapi setiap hari selalu membuat luka di hidup gue." Zerra menarik nafas, "tangan gue, kucing gue, tukang ledeng, sekarang dahi, belum lagi mental dan perasaan gue Dam!" Zerra menceritakan yang dilakukan Mamanya selama seminggu ini.

"Seminggu aja, rasanya nya berat banget Dam. Lo beruntung punya Mama kayak Bunda," Zerra tidak dapat melanjutkan perkataannya, Zerra menangis sejadi-jadinya. Bunda memeluk dan menenangkan Zerra.

"Zerra, dulu dari Bunda masih SMA bunda pengen banget punya anak cewek, biar bunda bisa kepang rambutnya. Tapi Zerra tau nggak setelah bunda menikah Bunda hanya di titipin Saddam sama Tuhan. Tapi Bunda sayang banget sama Saddam walaupun bunda nggak bisa ngepang rambut Saddam, bagaimanapun itu Zer Mama Zerra selalu saying sama Zerra. Begitupun Zerra kan? Zerra kan anak baik apa yang kamu lakuin ke Mama itu indah banget. Zerra kuat ya sayang." Bunda bercerita dengan Zerra di pelukannya.

Zerra hanya mengangguk, terlalu melelahkan.

Di pojok ruangan Joel menyeka air matanya yang sedari tadi jatuh di pipi. Joel sadar, sikap mencari sensasi Zerra di sekolah hanyalah pengalihan isu atas kerasnya kehidupan keluarganya.

Otak Saddam pun mulai berfikir, tatapan Zerra, tangis Zerra di busway beberapa hari lalu karena ketakutan akan lelaki itu dan apa yang akan di lakukan Mamanya kepadanya.

Karangan Tanpa TintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang