SoreAdalah waktu di mana bumi menunjukan sebuah kebimbangan, matahari tidak bersinar terang namun ia pun terlihat enggan untuk terbenam.
Sera suka sore, di mana warna jingga, putih, juga biru saling bertabrakan menggradasi bumi.
Biasanya, Sera akan menarik Gina dari rumah untuk 'keluar' dari Jakarta beberapa saat. Di Jakarta, kamu hanya bisa melihat karya Tuhan dengan jelas di atas gedung. Sera tidak suka gedung, itu sebabnya Sera sering meminta Gina membawanya mengunjungi bukit atau gunung.
Tapi itu sudah lama, mungkin dua bulan yang lalu. Gina makin sibuk setelah menempati posisi sebagai kepala sekolah. Waktu wanita itu untuk Sera semakin berkurang.
Bunda: kamu dimana Sera?
Harusnya, tanpa di beri pesan balasan, Gina sudah tahu dimana Sera berada. Berhubung Sera belum memiliki SIM, STNK apalagi KTP, maka Sera tidak bisa membawa kabur honda jazz milik Gina yang terparkir di halaman rumah.
Tanpa mobil, Sera tidak bisa melihat sunset dari atas gunung ataupun bukit hingga akhirnya Sera berlabuh di sebuah taman kota.
Lucu, dari sini Sera hanya mampu melihat senja yang menyala menimpa pepohonan menimbulkan siluet.
Drrttt Drrttt
Sera berdecak dan menggeser tombol hijau pada ponselnya "Apasih Bunda?"
"Kamu dimana? Pesan Bunda kenapa cuma di baca? Udah sore nak, besok kamu harus sekolah. Seragam kamu nanti kotor,"
Ya, setelah mendengar bujukan di tambah iming-iming satu mangkuk es krim dari Adnan, akhirnya Sera berangkat ke sekolah, tentu tanpa mengikuti jam pelajaran pertama.
"Sera lagi beli es krim,"
"Pintar bohong ya sekarang,"
"Gimana keadaan Rafa?" tanya Sera dengan kaki yang mulai melangkah meninggalkan area taman kota.
"Jangan mengalihkan pembicaraan,"
"Bunda yang merubah kebiasaan! Sera nggak suka Nda. Sera mau di bangunin terus sama Bunda, kan Rafa anak Ayah, Bunda Gina cuma Bundanya Sera. Rafa nggak boleh serakah," itulah Sera. Watak anak tunggal yang umumnya manja dan terlalu 'blak-balakan' mengenai perasaan, melekat kuat pada sosok Sera.
Terdengar suara helaan nafas. "Ayah kan jarang pulang. Sera sudah besar, harus ngalah,"
"Kenapa nggak Bunda aja yang ngalah?" tanya Sera sebagai pertanyaan penutup.
Sera menundukan kepala saat matanya terasa panas untuk memandang jalanan. Dia menangis, tentu saja, Sera anak manja yang terlalu sensitif dengan perasaan.
Sera melanjutkan langkah menuju trotoar untuk menghentikan sebuah taksi.
"Kemana dik?"
Sera menyebutkan alamat rumahnya lalu duduk dengan tenang di kursi belakang. Dia tidak akan repot-repot merapatkan tubuhnya di dekat jendela hanya untuk memandang kemacetan. Sera lebih suka terdiam dengan telinga yang tersumpal earphone.
Dua SMA.
Jujur, Sera tidak suka mendapati dirinya harus terjebak dalam tubuh perempuan dewasa. Dia masih ingin tertidur dalam pelukan Bundanya, mencoba resep kue pemberian tantenya bersama Gina, mengelilingi mall besar hingga mengaduh lelah, memakan semangkuk es krim dengan mata menonton film disney dan masih terlalu banyak hal yang Sera anggap berlalu terlalu cepat.
Semenjak dirinya memasuki zona anak SMA, Sera merasa banyak sekali yang berubah. Tidak ada kesempatan untuk menonton film laga, tak ada waktu luang terlalu banyak, belum lagi jika tugas dari guru sudah menumpuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERAGA (Completed)
Teen FictionPertemuan yang tidak direncanakan, membawa Sera juga Raga pada sepenggal kisah yang singkat. Tidak butuh waktu lama untuk memulai sebuah perkenalan juga pendekatan. Dan Tuhan pun adil, Ia tidak memperlambat datangnya perpisahan. "Simpan gue di sisa...