32. Takut

2K 149 1
                                    


Raga jarang sekali sarapan pagi. Dulu, kegiatan sarapan adalah hal paling berat bagi Amira karena Raga adalah anak paling keras kepala yang sangat sulit di bujuk sarapan.

Tapi mungkin melewatkan sarapan bukan hal yang patut di permasalahkan untuk Raga. Walau pun itu kebiasaan buruk, Raga tak pernah sakit karenanya.

Maka dari itu, kening Ardi sempat berkerut saat Raga tak langsung pergi ketika selesai meminum susu paginya.

"Tumben sarapan" kata Ardi, "Bukannya semalam udah makan malam bareng pacar?"

"Hmm"

"Kenapa?"

"Kenapa Papa pulang sih? bukannya belum seminggu?"

Ardi menyeruput teh paginya lantas berdeham, "Nggak masalah kan? Mama juga nggak protes kok. Gimana semalam sama pacar kamu?"

Raga menggigit roti isinya dengan kasar, sedikit kesal karena Ardi memintanya mengingat kejadian malam tadi.

"Ya gitu"

"Maksud Papa itu gimana kesan pesannya? Semalam kencan formal pertama kan?" suara Riana mengambil alih pertanyaan Ardi.

Bukan sifat laki-laki mengumbar emosinya. Raga pun begitu, dia memilih untuk diam dan kembali menggigit roti isi.

"Kakak, nanti sore kita ke taman lagi ya? Aluna mau-"

"Kakak sibuk"

Aluna menatap Riana dengan mata berkaca-kaca lalu kemudian suara tangis pun terdengar.

"Ssttt... Jangan nangis ah, kakak udah mau lulus jadinya sibuk. Aluna kalau mau ke taman sama Mama aja"

"Maunya sama Kakak" jerit anak itu keras.

Ardi menghela napas, "Sibuk banget emang?" tanyanya pada Raga.

"Nggak sibuk pun aku tetap nggak mau antar Aluna ke taman. Udah deh aku berangkat aja" Raga menyambar tasnya dengn kasar lantas berjalan meninggalkan meja makan.

"Kenapa sih dia?" tanya Ardi, "Emang aku salah bicara?"

"Mungkin dia gagal kencan sama pacarnya"

Raga masih bisa mendengar percakapan itu dan dia hanya mampu menghela napas. Sera tidak dapat di hubungi, Sera juga tidak datang ke restoran padahal dia yang membuat janji.

Raga tidak ingin marah sebenarnya tapi bagaimana lagi? Sifat manusiawi Raga muncul begitu saja. Sera terkesan semaunya sendiri dan tidak menghargai Raga.

Ya, Raga sadar bahwa dirinya lah yang memulai kekacauan ini, atau lebih tepatnya Sila, tapi ayolah, tidak ada yang bisa di salahkan dalam situasi seperti ini.

Mobil hitam Raga mulai melaju meninggalkan rumah. Dengan kecepatan sedang, Raga mengendarainya membelah jalanan Jakarta di pagi ini.

Ketika sampai di sekolah nanti, Raga sudah berencana akan menghampiri Sera di kelas gadis itu. Tak peduli sekalipun Raga harus menunggu Sera jika dia belum datang.

Ponsel Raga berdering saat kakinya menginjak pedal rem karena lampu lalu lintas yang berwarna merah.

Raga mengabaikan panggilan itu. Jangan tanya kenapa, karena Raga masih ingin selamat sampai tujuan.

Benda pipih itu kembali berdering, Raga merogoh saku seragam dan mengeluarkannya.

'Sean' gumam Raga dalam hati sebelum kemudian menggeser layar menjawab panggilan.

"Hmm?"

"Kabar buruk Ga"

Raga meletakkan ponselnya di atas dashboard setelah mengaktifkan mode speaker. "Apa? kalau nggak penting gue nggak pengen tau,"

SERAGA (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang