9. Rasa Luar Biasa

3.9K 256 7
                                    


Tidak ada lagi pertengkaran untuk hari ini. Setidaknya itu yang bisa Sera pastikan. Tidak ada Adnan. Gina bilang, pria itu sudah berangkat menuju perusahaan pemasok kayu di Blora untuk kebutuhan furniture. Sera percaya, dia bahkan cenderung tidak ingin tahu.

"Sera..." panggil Gina yang mencoba menghentikan gerakan tangan Sera menyuap nasi, "Coba kamu gendong" katanya mengulurkan tubuh Rafa.

"Nda..."

"Dicoba, nggak baik nyimpan benci begitu. Tarik napas terus ambil Rafa dari gendongan Bunda. Bisa?"

"Sera mau berangkat, takut telat" ujar gadis yang kemudian menyandang tasnya dan berlari keluar.

Satu hal yang entah mengapa mampu membuat Sera makin menjaga jarak dengan Adnan. Disaat pria itu pergi sekalipun, dia tidak mampu memberi kepercayaan pada Sera.

Umurnya 16 tahun, sudah cukup dewasa. Sera memerlukan kepercayaan, dia butuh mendapatkan kepercayaan dari orang tuanya dan Adnan tidak mampu memberi itu. Bahkan untuk sekedar berangkat sekolah, Adnan menitipkan Sera pada pak Jaka agar mengantar anaknya.

Sera tahu ini semua berawal dari hal yang dia tentang walau tidak seharusnya begitu. Benar kata Adnan, semua wanita di dunia ini terlalu mendalami peran.

Untuk kali ini saja, Sera menyenderkan kepalanya pada jendela mobil dengan telinga tersumpal earphone. Dia ingin membiarkan embun yang menempel pada kaca jendela mobil membelai pipinya barang beberapa menit.

"Kenapa mbak?" tanya pak Jaka yang melirik Sera dari kaca tengah.

"Laper, belum sarapan"

"Mau beli sarapan dulu? Di depan sana ada tukang bubur ayam" tawar pak Jaka yang tidak tega melihat wajah muram Sera.

Sera menghela napas dan melepas earphone telinga kanannya, "Nggak usah, nanti telat" kata Sera pendek.

Mobil terus melaju, pak Jaka menekan klakson beberapa kali saat jalanan tak kunjung lancar sedangkan Sera hanya mampu menghela napas. Ingin berteriak namun dia tidak memiliki alasan, entah kesalahan apa yang tengah Sera rutuki saat ini.

Pak Jaka kembali menekan klakson saat melewati satpam yang tengah membantu siswa menyebrang lalu mobil berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Sera menyandang tasnya dan bersiap membuka pintu mobil.

"Nanti sore nggak usah dijemput, saya pulang sendiri" dan itulah kalimat terakhir Sera sebelum dia menutup pintu mobil.

Pak Jaka menarik napas dalam lalu mulai melajukan mobil meninggalkan pelataran sekolah.

"Gue rasa keputusan lo salah"

Sera berjengkit kaget, "Raga" gumamnya pelan, "Keputusan tentang apa? Dan ngomong-ngomong, gue nggak pintar bikin keputusan"

"Pulang sendiri, buat apa cari resiko pulang sendiri kalau orang tua lo bisa bayar orang buat jagain lo?" ujar Raga dengan seringainya.

Senyum Sera terbit, "Gue harap orang tua lo nggak begitu?"

"Kenapa? Seandainya gue cewek, gue yakin gue bakal mau"

"Terus kalau cowok?"

Raga terkekeh pelan, "Kita yang lakuin itu, jagain cewek dan pastiin kalau kami, kaum cowok, nggak makan gaji buta"

Sera tersenyum geli seraya memasukan kedua telapak tangannya kedalam sweater putih yang dia kenakan, sama seperti yang Raga lakukan "Apa semua cowok begitu? Mengatur, memimpin dan membuat keputusan?" tanya Sera saat keduanya mulai menaiki anak tangga pertama.

"Sebagian ya, tapi beberapa dari kami menunjuk perempuan sebagai pengambil keputusan dengan satu syarat"

"Harus tepat?" tebak Sera yang dijawab gelengan oleh Raga.

SERAGA (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang