6. Memulai Sebuah Kesalahan

3.8K 256 5
                                    


"Kapan Ayah bilang kamu boleh pacaran?"

Sera mengalihkan perhatiannya dari ponsel sesaat setelah mendengar pertanyaan Adnan. Sera pikir, mereka akan terus melalui perjalanan di lingkupi hening.

"Sera nggak perlu izin Ayah, itu hak Sera," jawab Sera mencoba untuk tidak menambahkan aksen gemetar, "lagi pula, Rafa lebih butuh perhatian Ayah. Nggak usah dibagi-bagi sama aku, nanti Rafa kekurangan kasih sayang!"

Lancar tanpa hambatan, semua kalimat itu meluncur dari mulut Sera tanpa gemetar. Mungkin, gadis itu mulai terbiasa dengan nada ketus dan wajah datarnya.

"Belajar dari mana kalimat seperti itu?" sentak Adnan, "siapa sih cowok tadi? Dia yang ngajarin kamu bantah Ayah?"

"Ayah ya begini, melempar kesalahan sendiri ke orang lain," cetus Sera,
"bukannya Sera mencoba untuk membangkang ucapan Ayah, Sera menghargai Ayah sebagai orang tua, tapi harusnya Ayah juga sadar, apa yang membuat sesuatu diantara Ayah dan Sera berubah. Ayah itu Ayah Sera, sekalipun Ayah jarang punya waktu buat Sera, harusnya Ayah tahu bagaimana sifat Sera," jabar Sera yang sepertinya dalam satu tarikan nafas, tanpa jeda.

Roda mobil berdecit saat Adnan menginjak pedal rem karena lampu lalu lintas berubah merah. Pria itu ingin marah, namun keadaan tidak mendukung.

Sera kembali mengotak-atik ponsel. Sejujurnya tidak ada yang Sera lakukan dengan benda pipih itu. Sera tidak suka ponselnya berdering terus menerus namun terkadang Sera membutuhkan dering yang mengganggu demi mengalihkan perhatiannya dari apapun yang ingin dia alihkan.

Roda mobil kembali berputar, suara penyiar radio masih menguar untuk berbaur dengan dingin AC mobil yang tiba-tiba terasa makin dingin.

"Ayah mau yang terbaik buat kamu," kata Adnan setelah hening cukup lama.

"Ayah nggak tau apa yang baik buat Sera, selama Ayah nggak bisa ngasih itu, Sera mohon, biarin Sera cari sendiri."

Adnan menghela nafas dalam, "Kamu berubah karena Rafa?-"

"Ya!" sela Sera cepat.

"Terus mau kamu apa? Nyuruh Ayah balikin Rafa ke panti asuhan? Begitu?"

Sera menoleh pada Adnan dengan tatapan marah, "Harusnya begitu! Salah Ayah sendiri karena Ayah membuat masalah atas dasar keegoisan Ayah,"

Sera membuka pintu mobil dan menutupnya dengan keras. Awalnya Sera berniat akan membuka pintu gerbang rumah, namun melihat Gina berdiri di teras, tersenyum sendu menyambutnya bersama Rafa membuat Sera memejamkan mata.

Tuhan seperti menghadapkan Sera pada pilihan mati meminum racun, atau mati dibunuh. Tapi jika memang begitu, Sera akan memilih untuk mati dibunuh. Sera tidak akan mengizinkan dirinya menjadi orang konyol yang mati karena meminum racun, maka dari itu Sera memilih membuka pintu gerbang.

"Sera, kita bicara ya?" ujar Gina yang menahan lengan Sera saat lewat dihadapannya.

"Nggak bisa Bun, Sera banyak tugas," tolak Sera tanpa tekanan ataupun kelembutan.

"Kak-"

"BUNDA!" jerit Sera yang berhasil membuat Rafa menangis, "Sera itu anak tunggal! Sera nggak punya adik, Sera ya Sera, nggak perlu pake Kakak,"

"Biarin, Bun," cegah Adnan saat Gina akan mengejar Sera, namun kali ini Gina menolak Adnan.

Gina menggeleng. "Kalau cara Ayah menghadapi Sera begini, kita akan semakin jauh sama anak kita. Ayah urus anak Ayah, Sera anak Bunda" kata Gina yang menyerahkan Rafa ke dalam gendongan Adnan.

♣♣♣

"Ini buat apa?" tanya Aluna seraya menunjuk sebuh tombol pada kamera milik Raga.

SERAGA (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang