16. Penolakan

2.7K 193 0
                                    

"Nggak ada pulang malam mulai sekarang. Ayah bakal jemput kamu dan antar kamu kemana pun--"

"Ayah harus kerja" sela Sera setelah berusaha menelan rasa takut. Bukan takut akan keberadaan dan nada mengancam Adnan, yang Sera takutkan adalah peraturan yang mungkin akan benar-benar Adnan tetapkan. Sera tidak siap menjadi anak baik.

"Ayah pengusaha, Ayah bos nya. Kamu cuma perlu buka pintu mobil, masuk ke kelas dan berusaha didik diri kamu sendiri buat terbiasa sama hal yang nggak biasa kamu terapkan. Dan mulai besok juga, kamu akan ikut bimbingan belajar"

Sera tidak mengerti kenapa kepalanya tiba-tiba saja terasa pusing. Seperti tersengat listrik ribuan volt, namun tidak terlihat alirannya.

Sera kemudian menggeleng pelan dengan wajah pucat masam. Sera tidak tahu bahwa kiamat datang secepat ini.

Perlahan, Sera mulai membuka pintu mobil, melangkah keluar dan menatap Adnan sesaat sebelum kemudian menutup pintu mobil. Sera masih diam hingga mobil berjalan menjauh meninggalkan debu yang berterbangan di depan matanya.

Tidak ada cukup alasan masuk akal bagi Sera untuk membantah. Sudah terlalu banyak perdebatan dan teriakan tadi malam. Sera bahkan masih mengingatnya hingga pagi ini, bagaimana Adnan membentak Gina, bagaimana Gina membela Sera dan bagaimana Sera yang memilih menyerah.

Gadis itu menghela napas lalu memutar badan melewati gerbang sekolah. Tidak ada yang perlu di sesali, benar kata nenek Sera.

Terkadang hatimu akan meminta tubuhmu untuk berhenti membantah saat rasa lelah mulai merambah.

"Lesu amat Ra! Masih pagi nih" sapa Aila saat Sera meletakan tasnya di atas meja.

Sera duduk di kursi, diam beberapa saat lalu menoleh pada Aila.

"Gue berhenti nyanyi di kafe lo ya, Ai"

"Lakh terserah, kenapa emang?"

Sera kembali menghadapkan kepalanya ke arah depan, "Mau bimbel" jawab Sera singkat tak bertenaga.

Dahi Aila berkerut dalam. Tangannya terulur meremas jari-jemari Sera membuat Sera menoleh. "Matahari belum abis Ra! Masih cukup bikin lo sadar kalau kita masih kelas sebelas. Belum ada UN Ra" pekik Aila heboh.

Sera melepas tangan Aila dan bangkit berdiri, siap keluar dari kelas. "Ribetlah, udah anggap aja gue tobat. Ambil hikmahnya Ai, lo bisa nanya pelajaran yang nggak lo ngerti sama gue kalau gue pinter" ujar Sera yang langkahnya mendekat menuju kantin.

"Iya juga" gumam Aila, "Yaudah nggak jadi kiamat. Lo boleh bimbel semau lo. Jangan lupa ya Ra, gue boleh nyontek lo kalau lo pinter" katanya mengikuti langkah Sera

"Hmm" langkah Sera terhenti di stand penjual roti, "Mau roti nggak?" tawar Sera pada Aila.

"Boleh, bayarin ya?"

"Hmm, rasa apa?"

"Terserah" ujar Aila dengan mata menatap ponsel, "Eh Ra! Keknya gue nggak sekolah deh hari ini" kata Aila menunjukan layar ponselnya pada Sera, "Bokap gue udah izinin gue ke bu Wati. Audah mau ngapain"

Sera terdiam lalu mengangguk, "Oh, terus rotinya?"

"Gue ambil rasa coklat, dia yang bayar ya bu!" teriak Aila menunjuk Sera sesaat setelah menyambar roti coklat.

Sera menghela napas lalu mengambil roti keju, "Berapa bu?" tanya Sera, "Sama yang tadi juga"

"Sepuluh ribu"

Sera memberikan uang pada penjual lalu berbalik meninggalkan kantin.

Brukkk

"Eh maaf maaf! Aduh maaf banget" seru Sera berulang-ulang sesaat setelah menabrak bahu seseorang, "Kak Tama?" gumam Sera ragu.

SERAGA (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang