“Innalillahi wainna ilaihi raaji’un. Telah berpulang ke Rahmatullah….”
Berita duka yang diumumkan lewat pengeras suara masjid terdengar juga ke sebuah kamar kecil rumah itu. Di sana, terbujur kaku jasad seorang lelaki paruh baya yang baru saja meninggal. Warna kulitnya pucat, namun wajahnya terlihat tenang dan bercahaya. Dia tersenyum. Sebagai pengurus masjid, biasanya dia yang melakukan pengumuman itu, tapi kali ini, giliran namanya yang disebut.
Orang-orang di rumah itu masih saja menangis sedih sejak malam tadi, termasuk di antaranya seorang gadis bernama Nurul Safa. Dia baru sampai di sana jam tiga pagi, setelah menempuh perjalanan selama 3 jam. Tampangnya kusut, kerudung dan pakaiannya acak-acakan. Wajah ovalnya yang selalu tampak cerah dan ceria kini dibalut kesedihan yang amat dalam. Mata bulatnya yang biasanya berbinar-binar kini tampak bengkak setelah tidak henti-hentinya meneteskan air mata.
Safa mengujar lirih di telinga Bapaknya, “Pak…, nama Bapak akhirnya diumumkan lewat pengeras suara masjid. Nama Bapak akhirnya disebut…,” Dia tersedak. Air mata berjatuhan, orang-orang di sekitarnya pun ikut menangis lagi. Dada rasanya sesak sekali, ingin berteriak rasanya, namun tidak mampu.
Safa tidak ingin percaya takdir ini. Sang Bapak yang begitu ditunggu-tunggunya untuk bertemu setiap hari minggu, kini sudah dibungkus kain putih kafan. Hari minggu selanjutnya akan tetap hadir tanpa Bapak.
Safa mencium pipi Bapak untuk kali terakhir. Nanti, saat matahari sudah mulai naik, Bapak akan segera dimakamkan. Itu berarti, sosok Bapak akan benar-benar pergi untuk selama-lamanya.
Safa menatap seorang lelaki di antara banyak kerabat di kamar itu. Lelaki itu lebih tua empat tahun darinya. Namanya Fajar. Tubuhnya tinggi, badannya tegap, dan tatapannya halus. Wajah tenangnya kini dibayang-bayangi kesedihan. Mereka baru kenal setahun lebih, tapi hubungan mereka berdua seakan sudah lebih lama dari itu. Dia juga yang rela mengantar Safa malam-malam untuk pulang ke kampung halamannya.
Makwo –kakak perempuan dari Bapak duduk di sebelah Safa. Dia juga sedih, tapi tidak tega melihat keponakannya yang tampak sangat terpukul. Apalagi Safa sangat merasa bersalah karena tidak menemani Bapak di saat-saat terakhirnya. Itu membuat kesedihannya jadi bertambah berkali-kali lipat. Wanita tua itu mengelus-elus pundak Safa halus, menenangkan.
“Tidak apa-apa, Nak, ikhlaskan...,” Suara itu bergetar, penuh keraguan. Ia tidak yakin dengan yang dikatakannya sendiri, dia pun belum tentu ikhlas. Wanita itu menelan ludah. “Lihat? Dia tersenyum. Bapakmu sudah tenang...,”
Fajar ikut mendengarkan perkataan Makwo Safa. Tapi dia punya pendapat berbeda. Baginya, jenazah yang sedang terbaring itu belum merasa tenang. Dia punya sesuatu yang masih belum terselesaikan. Dalam pandangan Fajar, wajah lelaki itu menyiratkan kekhawatiran.
Fajar menghela nafas berat lagi. Dia berdiri dari duduknya, hendak pergi ke luar mencari angin segar, sekaligus tidak ingin mengganggu reuni kesedihan keluarga ini. Sesampainya di luar, ia menatap cahaya putih di kaki langit bagian timur. Setetes air mata keluar dari pelupuk matanya.
Safa menatapnya dari balik jendela kamar itu. Di tengah kesedihannya, dia juga merasa bingung. Dia yakin Fajar tidak punya hubungan apa-apa dengan Bapaknya, bahkan mereka mungkin tidak pernah bertemu. Safa sudah lama menyimpan firasat ini. Menurutnya, dia adalah lelaki yang aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Hijrah (COMPLETED) ✔
SpiritualJauh dari kampung halaman. Jauh dari Tuhan. Nurul Safa Salsabila menghabiskan masa mudanya dengan hanyut dalam kemaksiatan. Mengaitkan kelingking, ucapkan perjanjian. Mereka fikir itu cinta. Mereka fikir akan bahagia. Lupa, masa depan menjadi taruh...