Safa dan Tika berjalan menuju penjual es sepulang sekolah. Mereka duduk di bangku yang disediakan di pinggir jalan. Minum es disaat cuaca sedang panas memang sangat menyegarkan.
“Tik, ini sebenarnya sudah lama, sih. Tapi aku penasaran sama yang kamu bilang waktu kita di lingkaran kejujuran dulu.”
Tika mengernyitkan dahi. “Apa?”
“Waktu itu kamu bilang kalau teman-teman kita masih belum jujur. Maksud kamu apa dengan bilang itu?”
Tika berfikir sejenak, kemudian dia teringat. “Oooh itu.” Tika menghela nafas, “kamu akan tahu, Saf.”
Safa kesal karena Tika tidak mau memberi tahunya. Ia langsung pergi ke bangku lain di seberang.
Kehadiran teman-teman yang semakin mengasyikkan setelah berhijrah mampu sedikit mengurangi kesedihannya. Membuat Safa untuk sementara dapat melupakan rasa kehilangan orangtua yang terasa sangat menyakitkan. Tapi sesekali bayangan kegelapan itu kembali muncul menghantui.
Seperti ketika sedang sendiri melihat pohon kelapa yang menjulang tinggi di salah satu sisi sekolah. Teringat ketika Bapak mengambilkan buah kelapa muda di sawah. Kemudian memberikan pada Safa airnya. Segar sekali.
Sebuah botol dingin ditempelkan di pipinya sehingga terasa dingin, dan membuatnya terkejut. Reynald. Sejak kapan dia di sana?
"Lagi sendiri?" Memberikan botol air mineral.
Safa mengangguk mejawab pertanyaan Reynald. Menerima botol itu. Saat melihat ke depan, Tika sudah tidak di sana,
"Kamu suka minum air kelapa?"
"Tentu. Kamu?"
"Iya."
Lengang sejenak. Meninggalkan hembusan angin.
"Aku turut berduka, ya, meninggalnya orangtuamu. Semoga mereka bahagia di surga."
"Amin. Terimakasih." Safa tersenyum.
"Eh, ngomong-ngomong kamu manis juga, ya?"
Wajah Safa seketika bersemu merah. Dia menatap Reynald yang sedang duduk di sebelahnya. Lelaki tampan itu menatap lurus ke depan. Bunga-bunga lama dalam hati Safa merekah kembali.
Siang itu hingga berjam-jam lamanya mereka berbincang. Seperti kawan lama. Padahal mereka belum pernah sedekat itu sebelumnya.
*
Fajar harus bergegas melihat Safa di rumah sakit. Baru saja dia menerima informasi kalau gadis itu diserempet motor. Melihat jamnya, khawatir kalau Safa sudah lama menunggu. Langkah kakinya lebar-lebar dan cepat. Meski di depannya ada seorang gadis lebih bersinar daripada matahari, namun itu pun ia tak pedulikan.
Fajar tak menghiraukannya. Padahal Annisa sudah berdiri di sana sejak lama menunggu lelaki itu.
"Fajar!" Panggilnya, dia benar-benar sudah tidak bisa bersabar dengan tingkah Fajar yang sudah amat berubah.
Fajar menghentikan langkah kakinya. Membalikkan badan ke belakang.
"Kamu tidak lihat aku di sini?"
Fajar menggaruk kepala, "euh.. maaf Nis, tapi aku mau-"
"Selama ini perlakuan baik kamu ke aku itu untuk apa? Bilang aja. Kok ngasih harapan palsu?" Annisa benar-benar hampir meledak rasanya. Dia sudah simpan tanda tanya besar sejak lama. Sejak kehadiran Safa.
"Maksudnya?" Fajar tidak mengerti. "Harapan bagaimana?"
"Kamu mengerti maksud aku," jawab gadis itu ketus.
Fajar mengatur nafas sebentar. “Aku tidak mengerti.”
"Kamu mau apa, Nis? Aku nembak kamu gitu? Kita pacaran sekarang?"
"Kamu tahu itu dilarang agama kita."
"Ya, terus apa? Jangan bikin bingung." Suara Fajar terdengar mendesak, berkali-kali melihat jam.
"Jangan pura-pura bodoh! Kok tiba-tiba berubah gini? Aku salah apa sebenarnya? Kok kamu malah menjauh? Aku bukan mainan!"
Fajar mendekat ke arah Annisa. Sementara perempuan itu memalingkan wajah, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. "Aku tidak pernah kasih harapan ke kamu, Nis. Mungkin kamu saja yang terlalu berharap." Ucap Fajar dingin.
"Fajar...., kamu berubah!" Annisa membalikkan badannya memunggungi Fajar. "Aku nggak kenal kamu lagi!"
Fajar terdiam sejenak. "Oke. Aku juga."
Annisa mengusap pipinya yang berderai air mata. Tidak memedulikan mahasiswa lain yang berlalu lalang memperhatikannya. Terus menangis.
*
Fajar sampai di bangsal rumah sakit. Matanya bergerak cepat melihat ke sekitar. Tidak ada gadis yang dicarinya di sana. Fajar mengecek hapenya, bertanya kepada informannya. Informasinya akurat, tapi dimana Safa?
“Bang Fajar?”
Fajar membalikkan tubuh, mengarahkan pandangan pada sumber suara. Ternyata Safa memang ada di sana, bersama seorang laki-laki yang memangkunya berjalan menggunakan tongkat.
Fajar mendesah pelan, dia terlambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Hijrah (COMPLETED) ✔
SpiritualJauh dari kampung halaman. Jauh dari Tuhan. Nurul Safa Salsabila menghabiskan masa mudanya dengan hanyut dalam kemaksiatan. Mengaitkan kelingking, ucapkan perjanjian. Mereka fikir itu cinta. Mereka fikir akan bahagia. Lupa, masa depan menjadi taruh...