Fajar

4.3K 231 2
                                    

Matahari sudah mulai condong ke barat. Waktu siang dengan cahaya matahari terik dan udara kering sudah berlalu, digantikan dengan angin sepoi-sepoi yang berhembus di sore hari. Fajar dan dua temannya –Ammar dan Andre mulai melakukan hobi mereka, potret  kota. Selain karena hobi, mereka bertiga memang sedang menjalani kuliah jurusan fotografi.

Mereka bertiga sudah sering melakukan fotografi ke tempat-tempat bagus. Seminggu, atau paling tidak sebulan sekali ada saja tempat yang mereka datangi untuk diambil gambarnya. Kali ini mereka memilih Taman Air Mancur kota sebagai objek foto. Banyak wisatawan yang berdatangan ke sana. Andre biasa menawarkan bakatnya itu pada para wisatawan secara cuma-cuma, sekaligus modusin cewek-cewek cantik. Berbeda dengan Ammar yang memanfaatkan tempat ramai seperti ini sebagai ladang keuntungan.

“Jar! Nih hasil petualangan hari ini.” Andre memeperlihatkan hasil jepretannya pada Fajar.

“Ndre, kita ini sedang potret kota. Bukan foto studio,” kritik Fajar melihat isi kamera Andre yang lebih banyak foto cewek-cewek daripada keindahan kota.

“Mereka yang menawarkan jadi model, ya sudahlah. Silahkan dipilih, Jar, semuanya jomblo, kok.” Sudah kebiasaan Andre mempromosikan cewek-cewek itu pada Fajar. Ia merasa prihatin dengan keadaan Fajar yang tidak bisa move on dan mesti merasakan derita kejombloan.

Fajar cuma mengangkat bahu, tidak tertarik.

Matanya menangkap sesuatu, Fajar segera mengalihkan kameranya ke sebuah objek yang sangat indah. Kamera Fajar fokus, mengambil angle yang tepat dan mulai membidik. Satu foto bidadari berhijab ditangkap dengan sukses. Dan itu satu-satunya foto wanita yang ada di memori kamera Fajar.

Melihat Fajar yang begitu senang dengan hasil bidikannya, Andre dan Ammar beranjak mendekat, penasaran. Diam-diam mengintip hasil foto. Siapa lagi kalau bukan...,

“Annisa.” Fajar menyebut nama bidadari di dalam kameranya, dan gadis itu sekarang sudah berdiri di hadapannya dengan wajah kesal. Itu malah membuatnya semakin manis.

Fajar tersenyum lebar menatap Annisa. Diikuti kedua teman disampingnya juga melakukan hal yang sama. “Hai, Anis,” sapa Fajar.

Annisa memasang tampang sebal melihat Fajar. “Bukannya aku sudah berkali-kali bilang, jangan panggil Anis! Itu tidak ada artinya tahu!”

“Lagi pula, Annisa itu artinya apa, sih? Perempuan, kan? Tidak ada do’anya juga!” Fajar membela diri. Dia memang senang membuat Annisa marah.

Annisa menghela nafas, tidak mau melanjutkan perdebatan tidak penting ini. “Siapa yang berani ambil foto tanpa izin?” Tanya gadis itu ketus.

Ammar dan Andre lekas mengarahkan jari telunjuk pada Fajar. Annisa segera merampas kamera Fajar. Tangan Fajar berusaha menggapai kameranya kembali, tapi Annisa bergerak cepat menyimpan kamera tersebut dibalik punggungnya.

“Jangan dihapus, Nis. Itu satu-satunya foto...,” Fajar merengek seperti anak kecil.

“Tidak penting juga, kan?”

“Ada alasannya, kok, Nis.”

“Apa alasannya?” Annisa masih memegang kamera itu dengan kokoh dibalik punggungnya.

“Alasannya...,” Fajar berfikir sejenak. “Karena aku suka kamu.” Meluncur begitu saja kalimat itu dari  bibir Fajar, tidak kikuk sama sekali, malah semakin lebar senyumnya. Di belakang Fajar, Ammar dan Andre salah tingkah, mereka perlahan menyingkir. Takut mengganggu keromantisan dua insan itu.

Annisa juga wanita, ia juga pasti akan terkejut dan salah tingkah mendengar ungkapan itu. Tapi Fajar sudah mengatakannya setiap hari. Ya, meski setiap hari, jantung Annisa masih saja berdebar kencang mendengarnya. Mencengkram kamera lebih kuat. Dalam hatinya bertanya-tanya, sebenarnya apa yang diinginkan Fajar? Sejak awal dia sudah tegas mengatakan tidak akan pacaran. Itu dilarang agama. Tapi Fajar selalu saja membuat benteng pertahanannya melemah.

Annisa segera menghapus foto itu dari kamera Fajar, menyerahkannya kembali pada pemiliknya, setelah itu langsung berlari kencang meninggalkan pemuda itu. Wajahnya bersemu merah.

Fajar memeriksa kameranya. Menghela nafas, Ah, benar-benar dihapus ternyata. Batinnya.

Fajar sudah lima tahun mengagumi Annisa, dan tidak ada progress sampai sekarang. Dia adik kelasnya sewatu SMA dulu, dan sekarang juga di universitas yang sama. Sudah dua tahun Annisa menjadi karyawan di toko Mamanya. Karena toko itu merangkap jadi rumah mereka, Fajar sering sekali bertemu dengan Annisa hingga membuat perasaan itu tumbuh subur sampai sekarang.

Andre menepuk pundak Fajar. “Sudah berapa kali, Jar?”

Fajar menaikkan sebelah alisnya. Apa?

“Ditolak?”

Raut wajah Fajar mulai berubah. Andre dan Ammar langsung ber-high five dan tertawa terbahak-bahak. Mereka senang sekali menggoda Fajar.  

Fajar tidak mau meladeni olok-olokan mereka, segera pergi entah kemana.

*

“Dari mana, Jar?” Tanya mamanya ketika Fajar baru saja masuk ke rumah.

“Jalan-jalan.” Fajar memperlihatkan kameranya. Mamanya sudah mengerti kebiasaan Fajar bepergian tiap minggu.

“Sama siapa? Annisa?” Wanita berkerudung itu membetulkan letak kacamata, tatapannya penuh selidik. Dia sengaja menggoda Fajar, soalnya anak lelakinya itu terang-terangan sekali kalau menyukai seseorang.

Fajar tersenyum mendengar mamanya menyebut nama Annisa. “Annisa mana mau diajak jalan-jalan berdua?”

Mamanya tersenyum sambil mengangguk-angguk, menyuruh Fajar menunggu, dia akan menyiapkan makan malam untuk anak semata-wayangnya itu.

Makan malam lezat tersaji di atas meja makan, Fajar memakannya dengan lahap.

“Kamu sebenarnya serius atau tidak sih sama Annisa?”

Mendengar pertanyaan itu membuat Fajar tersedak. Mama segera mengambilkan air minum. Fajar cuma mengangkat bahu, kembali melahap makanannya.

Mama menghela nafas. “Mama nggak mau kamu terlalu lama kasih perhatian ke perempuan tanpa hubungan apapun. Mama juga  nggak rela kalau kamu melepas lajang dalam waktu dekat. Kamu tahu, anak mama yang satu ini masih benar-benar manja. Takutnya nanti anak orang jadi terlantar karena suaminya masih ingusan begini.”

Fajar tidak menjawab. Cuma mengangkat alis, ada benarnya juga sih.

Mamanya beranjak dari meja makan menuju westafel tempat cuci piring. Di rumah itu cuma ada mereka berdua, papanya sudah meninggal lima tahun silam. Karena alasan itu juga Fajar jadi lebih manja pada mamanya. Wanita itu pasti kesepian. Setidaknya sikap manjanya itu bisa membuat mamanya sedikit terhibur.

“Ma, aku sudah bertemu dengan Nurul Safa,” ujar Fajar.

“Siapa? Teman lamamu?” Wanita itu terus melanjutkan mencuci piring.

“Nurul Safa, Ma.” Fajar mengulangi nama itu sekali lagi, kali ini lebih jelas.

“Siapa-?” Gerakan tangan Mama terhenti, dia mulai ingat.

“Kita bicarakan lain kali, Jar,” ucapnya dengan nada suara yang sedikit berubah.

Fajar mengangguk.

Toko Hijrah (COMPLETED) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang