Safa sekarang genap yatim-piatu. Sepeninggal sang Ibu, kesedihannya pun bertambah berkali-kali lipat. Ia sendirian sekarang.
Kenapa takdir sekejam itu padanya?
Berhari-hari ia mengurung diri di kamar, tidak menyentuh makanannya. Sama sekali. Tubuhnya semakin lama semakin kurus. Kerabat yang datang tidak berani menghampirinya, ia akan mengamuk menyuruh mereka pergi, kemudian menangis lagi tersedu-sedu.
Untuk sementara, karena Safa masih belum mau pindah ke rumah kerabat yang lain, mereka beramai-ramai tinggal di rumahnya, sekaligus untuk menghibur Safa.
Beberapa hari belakangan pun Fajar rajinmenjenguk Safa di rumahnya tanpa ada yang tahu. Biasanya dia cuma mengamati dari luar rumah. Dan kali ini ia menemukan Safa sedang duduk berjongkok di tepi sumur. Dia hanya termenung di sana. Rambutnya berkibar-kibar ditiup angin. Matanya bengkak karena begitu banyak menangis. Terlalu banyak kesedihan yang dihadapinya.
Sementara itu, sekolah berjalan seperti biasa tanpa dirinya. Sudah satu bulan lebih ia tidak kembali. Safa tidak peduli dengan sekolahnya lagi, tidak sempat untuk memikirkan hal itu.
Fajar akhirnya memutuskan menghampiri Safa. Dia melihat gadis itu lekat-lekat. Raut wajahnya kusam, pipinya semakin tirus, tangan dan jari jemarinya semakin kecil. Fajar ikut berjongkok di sebelah Safa.
Mata Safa masih menunduk, memerhatikan air sumur yang dalam.
“Assalamu’alaikum.”
Safa tidak menjawab salam itu, seolah tak mendengar.
“Ayahnya Imam Bukhori meninggal saat beliau masih kecil. Imam yafi’i juga kehilangan ayah ketika usianya belum genap dua tahun. Safa tentu tahu siapa mereka, kan?” Fajar menoleh pada Safa yang masih menunduk.
Safa tahu cerita itu. Sudah banyak buku yang dibacanya, termasuk kisah kedua tokoh besar itu. “Tapi mereka belum kehilangan Ibu pada masa itu.”
Fajar mengangguk. “Lalu bagaimana dengan rasul kita? Ayahnya meninggal saat beliau masih di dalam kandungan. Di usia 5 tahun pun beliau harus kehilangan Ibunya.”
Safa terdiam.
“Bahkan abang sendiri –“ Mata Fajar berkaca-kaca ketika mengingat masa lalunya. Ia tidak mampu melanjutkan.
“Ada dua cara menghadapi cobaan. Pertama, kamu sabar, ikhlas, dapat pahala dari Allah, takdir berjalan terus. Kedua, kamu marah, tidak rela, dapat murka Allah, takdir berjalan terus. Safa pilih jadi yang mana?”
Tundukan kepalanya semakin dalam. Tetes demi tetes air mata berjatuhan.
“Kamu harus bangkit, Dik. Safa mau pindah sekolah ke sini, Abang akan bantu. Jika ingin kembali ke kota, Abang juga akan bantu, insyaallah.”
*
Setelah dibujuk berhari-hari oleh Fajar, Safa akhirnya mau kembali ke sekolah. Sudah hampir dua bulan dia pulang kampung, dan itu berarti Safa harus bersusah-payah mengejar ketertinggalan belajarnya. Safa berusaha untuk tampil seperti biasanya di hadapan teman-temannya, meski di dalam hati masih sangat gelap.
Mereka sampai di kost lama Safa sore hari. Fajar yang berbicara dengan ibuk kost. Sedangkan Safa disuruh langsung masuk saja ke kamarnya.
Berdiri di depan pintu, Safa sudah mendengar keributan di dalam kamar. Mungkin sedang banyak tamu yang berkumpul. Safa agak kikuk hendak membuka, rasanya aneh sudah dua bulan tidak bertemu teman-teman.
Tiba-tiba seseorang membuka pintu dari dalam, dia langsung terkejut melihat gadis di depannya.
"Safa!" Sahutnya lantas memeluk erat.
Safa sudah rindu pelukan ini. Dasar Tika! Membuat air matanya jatuh saja.
Mendengar sahutan Tika, seisi kamar juga ikut keluar. Ikut memeluk Safa, hingga membuat gadis itu sesak nafas. Mereka teman-teman dari kamar tetangga. Syerin, Tya, dan Nina. Bahkan Ceca juga ikut memeluk.
Tapi, eh ada yang berbeda. Setelah melepaskan pelukan mereka, Safa melihat teman-temannya satu per satu. Berbaris rapi muslimah-muslimah berhijab. Pemandangan baru yang indah.
Yang dipandang cuma cengar-cengir.
"Maasya allah," Safa menyahut.
Mereka tampak tujuh kali lebih cantik daripada biasanya.
Sambil membantu membereskan barang-barang Safa, mereka bercerita banyak hal. Tentu saja topik utamanya mengenai hijab itu.
"Sejak kapan?" Safa penasaran ingin bertanya.
"Sejak seminggu setelah ceramahmu di lingkaran kejujuran itu, Saf. Tika langsung buat peraturan kalau setiap yang ingin masuk kamar ini harus pakai jilbab, jawab Syerin. Gadis cantik itu tampak semakin cerah memakai jilbab, meski jilbabnya masih banyak gaya-gaya. Dipilin kesana-kesini. Tapi tak mengapa, masih proses.
"Syerin dan Tya langsung memutuskan pacarnya loh, Saf," bubuh Tika dengan tampang menyebalkan.
"Oh, ya?" Safa semakin tertarik saja.
"Kalau Nina?"
"Nina sih diputusin."
Mendengar namanya disebut, Nina menoleh sambil memperlihatkan tampang kesal.
"Gimana, Ce? Suasana pakai jilbab?" Safa melihat kearah Ceca.
"Yah.. nggak buruk juga. Aneh sih kalau ada yang bilang jilbab itu membatasi. Malah ngerasa bebas."
"Serius begitu?"
"Ya serius,” jawabnya masih cuek.
Pernyataan yang menyenangkan, meski Ceca mengatakannnya dengan wajah datar. Tapi benar, Ceca bukan tipe basa-basi.
"Makin cantik loh."
Wajah Ceca memerah. Baru kali ini Safa melihat ekspresi wajah Ceca. Maksudnya yang kedua kali. Setelah sebelumnya sewaktu Bapak meninggal. Safa segera menepis ingatan itu. Teman-temannya sudah hijrah, dia seharusnya senang.
Terdengar ketukan pintu. Segera Safa membukanya. Fajar.
Matanya sedikit terkesima memandang bidadari-bidadari berhijab, tapi segera menyadarkan diri.
"Semua sudah diurus, Dek. Kamu istirahat saja. Kalau ada masalah, telpon Abang aja, ya."
Safa mengangguk. "Terimakasih semuanya, Bang. Maaf merepotkan" Ekspresi wajah Safa tampak menghargai. Kemudian Fajar segera pamit.
Tiga detik setelah pintu ditutup. Seisi kamar kembali riuh. Menggoda Safa dan Abang ganteng yang baru saja masuk tadi.
"Apa sih. Tidak ada apa-apa, kok. Dia cuma satu diantara banyak orang baik di dunia."
"Benar, nggak ada?" Syerin meyakinkan.
Safa mengangguk dengan tampang meyakinkan.
"Kalau gitu, aku aja, ya? Gimana tadi kira-kira jilbabku miring, gak?" Syerin lekas mencari cermin ingin melihat penanmpilannya.
"Yee... Syerin! "
Syerin lekas menyimpan cermin kembali.
Serentak semuanya menyoraki Syerin. Menyenangkan sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Hijrah (COMPLETED) ✔
SpiritualJauh dari kampung halaman. Jauh dari Tuhan. Nurul Safa Salsabila menghabiskan masa mudanya dengan hanyut dalam kemaksiatan. Mengaitkan kelingking, ucapkan perjanjian. Mereka fikir itu cinta. Mereka fikir akan bahagia. Lupa, masa depan menjadi taruh...