"Dari mana, Jar?" Tanya mamanya sambil mengumbar senyum ketika Fajar masih di pintu masuk.
"Biasa, Ma," jawabnya sambil melangkah menuju lantai atas.
"Olahraga?"
Fajar cuma menjawab dengan anggukan
"Annisa sudah pulang, ya?" Fajar menyempatkan diri menanyakan hal tersebut ketika sudah sampai di anak tangga paling ujung, melihat ke arah mamanya di bawah.
"Iya, katanya mau bikin tugas. Lagi pula toko sudah sepi jam segini."
Fajar mengangguk, lanjut melangkahkan kaki.
Annisa, gadis itu sudah lama memikat perhatian Fajar. Sejak dia pertama masuk SMA dulu, ketika itu Fajar seniornya. Semuanya bermula ketika teman cewek sekelasnya -mungkin sedang badmood waktu itu- tidak sengaja menyiram Annisa dengan air. Annisa terlihat sedikit kesal, tapi teman sekelasnya itu malah marah-marah. Sambil menunjuk-nunjuk Annisa, dan memaki-maki. Semua orang tahu cewek itu yang salah, tapi Annisa malah meminta maaf. Selesai adegan tersebut, Annisa menjalankan hari-hari seperti biasa, tidak menyimpan dendam. Dia sudah lama melupakan cewek itu. Tapi bagi Fajar, hal itu tak terlupakan.
Fajar kagum dengan sifat wanita itu, dia berharap dapat berbincang dengannya sekali saja. Impian Fajar terkabulkan, mereka berkesempatan berbincang ketika kelasnya dan kelas Annisa sama-sama praktek olahraga di aula.
Fajar menyodorkan sebotol air mineral pada Annisa setelah olahraga. Lelaki itu termasuk murid populer di sekolah, cewek-cewek pasti akan berebut mengambil air mineral dari Fajar. Tapi Annisa tidak. Dia cuma menggeleng sambil tersenyum.
Fajar duduk di sebelah Annisa, memberikan jarak agak jauh, tapi cukuplah cuma untuk berbincang santai sebentar.
"Namanya siapa, Dek?"
"Annisa Nasywa. Ada apa, ya?"
Wow, to the point. "Tidak, cuma mau kenal saja."
Lengang sebentar.
"Kemarin kenapa minta maaf?"
Annisa mengernyitkan dahi, "Kemarin kapan, ya?"
"Sama senior yang cerewet itu."
Annisa berfikir sebentar. "Ooo..., yang itu. Daripada memperpanjang masalah," tukasnya yang kala itu masih belum menggunakan jilbab. Fajar mengamati Annisa, sejak tadi cewek itu tidak sekalipun memandang ke arahnya.
Dia sosok yang dingin. Fajar semakin kagum.
Takdir ternyata baik bagi mereka. Fajar dan Annisa berada di kampus yang sama, dan Annisa juga kerja paruh waktu di toko mamanya. Menyenangkan, tapi sekaligus sangat menguji. Fajar bukan lelaki tanggung yang cuma menginginkan wanita, tapi dia sosok yang bertanggung jawab. Jangan pacaran kalau tidak menikah. Dan dia belum siap mempersunting Annisa sekarang. Dia masih kuliah, boro-boro mau menghidupi keluarga kelak, biaya kuliah pun masih minta dengan orangtua.
Untuk menghalangi nafsunya karena sering beraktifitas bersama wanita yang disukai, Fajar sudah mulai berpuasa. Hingga ia selalu ingat pada Tuhannya, dan komitmen pada hidupnya. Meski sering menggoda Annisa, tapi setidaknya dia bukan raja gombal yang memberi harapan palsu dan buang-buang waktu. Tapi godaannya cukup untuk membuat Annisa tersenyum dengan pipi yang bersemu merah.
Fajar membentangkan tubuh di atas kasurnya, segera menghilangkan fikiran-fikiran tentang Annisa. Bisa berbahaya kalau angan-angan terus diperpanjang. Yang penting sekarang, dia harus cepat menyelesaikan kuliah, cari pekerjaan, barulah meminang gadis yang dicintai –mudah-mudahan tidak didahului orang. He he.
Adzan maghrib berkumandang. Fajar beranjak mengambil wudhu' lantas sholat dengan khusyu’ di dalam kamar. Ia punya keinginan untuk terus sholat di masjid lain kali. Tapi semua butuh proses, yang penting ada niat.
Selesai sholat, Fajar mendengar suara teriakan di bawah, mungkin ada yang mencari. Ia turun dan membuka pintu.
Nafas Safa masih tersengal, menyodorkan sebuah kotak berukuran segenggaman pada Fajar. Kotak tersebut berwarna hitam dengan pita yang terikat di atasnya berwana silver.
"Ini apa?" Fajar menunjuk kado tersebut.
"Untuk Kakak. Aduh, aku manggilnya Abang aja, ya? Diulang ya. Kado ini untuk Abang. Makasih nasehatnya tadi sore. Sekarang semua sudah kembali seperti sedia kala."
Fajar merasa lega, cewek yang menangis tadi sore kini sudah kembali ceria. Meski sebenarnya dia tidak membantu apa-apa.
"Memangnya harus pakai kado, ya?" Tanya Fajar sambil melihat-lihat kotak itu, penasaran dengan isinya.
"Iya dong. Eh, tapi jangan buka di sini."
"Kenapa?"
Safa cuma menjawab dengan nyengir lebar. "Sudah, ya. Aku buru-buru, nih." Gadis itu segra berlari kencang.
Sesampai di rumah, Fajar langsung membuka hadiah dari Safa. Sebuah gantungan kunci, dan puisi. Fajar tersenyum membacanya.
*
Safa melihat selembar kertas di mejanya. Itu, kan...?
“Surat cintamu untuk Reynald bagaimana keadaannya, Saf? Sudah dikasih?” Tika menggoda Safa.
Safa cuma terdiam dan menggigit bibir, masih menatap kertas di meja dengan seksama. Surat untuk Fajar masih di sini. Jadi..., yang diberinya untuk Fajar tadi..., surat cinta?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Hijrah (COMPLETED) ✔
SpiritualJauh dari kampung halaman. Jauh dari Tuhan. Nurul Safa Salsabila menghabiskan masa mudanya dengan hanyut dalam kemaksiatan. Mengaitkan kelingking, ucapkan perjanjian. Mereka fikir itu cinta. Mereka fikir akan bahagia. Lupa, masa depan menjadi taruh...