Kamu Kapan?

2.5K 180 0
                                    

Safa tidak akan main-main kalau sudah menyatakan sesuatu. Dia pernah bilang ingin membuat surat cinta untuk Reynald. Maka sampai malam menjelang, dia masih sibuk menyusun kata-kata indah untuk surat cintanya yang pertama. Tapi sayang, teman-temannya tidak ada yang mau membantu. Beruntung dia punya teman pintar yang bisa mengajarkannya menyusun syair. Ceca. Dia teman sekamar Safa dan Tika.

Teman Safa yang bernama Ceca itu juga aneh, gila belajar. Setiap hari cuma tidur tiga jam. Safa heran bagaimana orang seperti itu bisa bertahan hidup. Teman-teman Safa memang memiliki kegilaannya masing-masing. Sedangkan Safa tergolong yang biasa saja. Suka menyanyi, suka berdandan, tapi sekedarnya saja. Ibadahnya juga biasa. Sunnah tidak pernah dilakukan, sedangkan yang wajib masih bolong-bolong, bahkan tidak pernah. Mengaji seminggu sekali, waktu pelajaran Agama Islam. Meski seharusnya dia sadar, remaja dengan tingkat keimanan yang seperti itu rawan terbawa arus negatif.

“Wah…, artis-artis zaman sekarang sudah banyak yang berhijab!” Sahut Tika antusias, membuat Ceca dan Safa menoleh. Tika memperlihatkan berita di hape-nya pada mereka dengan mata berbinar-binar.

Ceca kembali memakai earphone-nya, tidak terlalu ingin peduli. “Paling juga ikut trend, nanti dilepas lagi,” Ceca bergumam sembari melanjutkan menulis syair yang diminta Safa.

Tika mendengus tidak terima. “Respon yang aneh. Bukannya kita seharusnya senang, bersyukur karena mereka sudah diberi hidayah. Masalah ikut-ikutan atau tidak, itu bukan untuk diperdebatkan.”

Ceca pura-pura tidak mendengar. Tika beralih meminta dukungan pada Safa.

“Lah, kamu sendiri kapan?” Safa mencari toples berisi kue di lemari Tika. Gadis itu memang punya banyak persediaan kue, dan Safa yang bertugas menghabiskannya.

“Eh?” Tika garuk-garuk kepala. ”Masih mikir, Saf. Belum dikasih hidayah.”

Safa cuma mengangguk, memasukkan biskuit kacang ke dalam mulutnya.

“Jilbab itu melindungi kita dari segala macam gangguan.” Tika memulai ceramahnya. “Hukum jilbab itu wajib. Bahkan ditegaskan secara langsung oleh Allah di dalam Al-Qur’an. Biasanya orang akan bertanya alasan pakai jilbab. Sebenarnya pakai jilbab itu tidak perlu alasan. Karena jilbab itu adalah identitas muslimah. Kalau orang yang pakai jilbab itu tandanya dia bangga sama agamanya. Ibaratnya kalau kita keluar menggunakan jilbab, sama saja dengan berteriak ke semua orang. SAYA ORANG ISLAM! MAU APA KALIAN?!” Tika bercerita dengan sangat antusias, tidak ketinggalan gerakan tangan dan ekspresi wajahnya. Dia sudah seperti pemimpin pasukan mujahid.

Sebenarnya ini bukan pertama kali Tika berceramah panjang lebar dengan topik yang sama, dan hanya Safa yang setia mendengarnya. Dia mengangguk-angguk sok mengerti dengan penjelasan Tika.

Tapi setelah surat cintanya selesai, Safa tidak peduli dengan ceramah Tika lagi.

*

Ratusan murid SMA Manuangsa Muda sudah memulai kegiatan setiap hari sabtu, lari pagi. Hentakan kaki terdengar serempak, hanya ada beberapa yang lebih cepat ataupun lebih lambat, namun segera menyesuaikan dengan yang lainnya.

Safa dan Tika juga berada di antara barisan itu. Hari ini, Tika berpenampilan baru. Gadis berkulit gelap itu telah membalutkan kepalanya dengan kerudung. Tika tampak senang dengan keputusannya, dan itu berarti Safa juga ikut senang. Sejak tadi, kakak-kakak kelas yang telah lebih dulu berjilbab terus memuji Tika, membuat wajahnya bersemu merah karena malu.

Safa dan Tika duduk merentangkan kaki di atas rerumputan hijau sekolah sambil meminum air mineral. Mereka memutuskan duduk berdua saja, jika bergabung dengan teman sekelas, maka akan dipastikan satu botol mineral yang mereka bawa akan habis sebelum yang punya meneguknya.

“Apa rambutmu di dalam itu tidak terasa mengganggu?” Tanya Safa.

Tika menggeleng. “Kalau tidak pakai jilbab malah terasa lebih mengganggu.”

Safa mengangguk setuju. Rambutnya sekarang terasa sangat mengganggu. Meski sudah diikat, tetap saja terjulur menganggu matanya.

“Tapi koleksi jilbabku masih sedikit. Aku terpaksa memakai jilbab ini lagi untuk belajar di kelas nanti. Padahal sudah bau keringat,” keluh Tika sambil mencium jilbabnya.

“Warna apa yang tidak ada?”

“Hijau, pink, biru, coklat, hitam –“

“Stop!” Safa mengangkat tangan. “ Kamu bisa menyebut semua warna, Tik.”

Tika mulai menggembungkan pipinya, menahan nafas hingga wajahnya berubah merah, kebiasaan Tika kalau sedang kesal. Safa tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi itu.

*

“Gak nyangka!” begitu reaksi pertama teman sekelas Tika, melihat penampilan barunya. Sejak lari pagi tadi, mereka memang sudah terlihat berbisik-bisik satu sama lain ketika melihat Tika.

“Padahal selama ini blak-blakan, tertawanya paling keras, bicaranya paling banyak, tapi gayanya pakai hijab.”

Tika hanya diam mendengarkan. Safa protes, mukanya sudah memerah dan panas. “Bukannya seharusnya kalian senang teman kaian sudah mau berubah?!” Safa emosi.

“Kalau aku sih lebih baik perbaiki yang di dalam dulu,” tambah teman yang lain.

Kali ini Tika menoleh. “Kalau begitu kapan? Kapan selesainya perbaiki yang di dalam? Nunggu akhlaknya sempurna? Yakin bakalan sempurna? Atau…,” Tika menatap teman-teman yang membicarakannya itu satu persatu. “Atau memang tidak mampu? Imannya masih lemah.” Lanjutnya enteng.

Skak! Siswi-siswi itu terdiam. Safa menyahut senang, segera mengibaskan tangannya, mengusir mereka. Siapa yang tidak tahu Tika? Argumennya jelas, tajam, dan tepat sasaran. Tidak membutuhkan energi dan waktu lama untuknya mengalahkan para komentator amatir itu.

Safa mengeluarkan dua jempolnya untuk Tika. Keren! Two thumbs up!

“Kalau kamu kapan?” Tanya Tika ketus.

Eh? Safa menggaruk kepalanya. Nyengir.

Toko Hijrah (COMPLETED) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang