Setiap hari jum’at siang setelah waktu sholat jum’at, jadwal Safa latihan voli. Hanya ada beberapa yang ikut. Berbeda dengan ekskul lain, sepak bola misalnya, sampai-sampai jumlah pemain cadangan melebihi pemain utama. Prestasi voli sekolahnya juga sedikit, dan ini ekskul paling tidak menonjol di sekolah. Safa juga tidak mengerti kenapa dia masuk eksul ini.
Safa sudah berdiri dengan posisi yang pas, satu kaki di depan, tangan kiri memegang bola dan tangan kanan mengepal, bersiap memukul, melakukan servis. Satu tembakan pertama meluncur keras ke lapangan lawan. Masalah servis adalah persoalan dasar yang sangat dikuasai para pemain voli, tinggal selanjutnya membuat irama peramainan. Meski niatnya tidak terlalu serius mengikuti ekskul, tapi karena latihan yang rutin, Safa jadi mahir juga.
Saat istirahat, lagi-lagi Safa mendegar gunjing-gunjing perihal Tika yang mengenakan jilbab oleh teman sekelas yang juga ikut ekskul voli, padahal mereka juga pakai jilbab. Meski dia belum berjillbab, tapi telinganya panas mendengar orang-orang membicarakan sahabatnya itu. Dengan tatapan menantang, Safa medatangi mereka.
Siswi yang sedang berbicara itu berhenti ketika melihat Safa datang.
“Apa? teruskan!” Safa mempermainkan bola voli di tangannya. Siswi itu masih diam. “Tika mau pakai jilbab itu urusan dia! Kenapa kalian bergunjing-gunjing di sini?”
Salah satu mereka menatap Safa. “Maksud kami, Tika itu belum pantas pakai jilbab. Lihat saja bagaimana cara dia berbicara, menatap, kelakuannya. Bukannya menjadi hal baik baginya pakai jibab. Itu malah menodai jilbabnya sendiri,” ungkapnya tenang.
Bahu Safa naik turun, nafasnya mederu. “Kalau begitu..., apa kalian lebih pantas? Menggunjing orang di sini, padahal kepala kalian tertutup jilbab. Kalian sama saja!” Suara Safa meninggi.
Siswi tadi balas menatap tajam. “ Bukan bergunjing, tapi diskusi,” jawabnya enteng. Ia dan teman-temannya pun berdiri pergi meninggalkan Safa.
Safa menghela nafas tidak suka, berbalik menatap punggung siswi-siswi itu. Dia sudah tidak tahan. Dengan kekuatan penuh, Safa melemparkan bola voli di tangannya tepat ke kepala siswi di tengah.
“Kalian sebut itu diskusi? Dasar bangsat!” Begitulah Safa dan kebanyakan remaja zaman sekarang, umpatan kotor dan kasar mudah saja keluar dari mulutnya. Seluruh isi kebun binatang pun disebut semua.
Siswi yang tidak terima diperlakukan begitu, mendatangi Safa. berdiri tepat di depannya. Mereka saling tatap tajam, menantang.
Permasalahan itu pun diselesaikan esok harinya di ruang BK. Ada bekas cakaran di wajah Safa, sementara gadis itu tidak hadir karena kakinya terkilir. Tapi Safa menyanggah kalau terkilir itu karena perbuataannya. Menurut Safa, itu karena setelah siswi itu mencakar dirinya dan Safa berusaha melindungi diri dengan mendorongnya, siswi tu kehilangan keseimbangan dan jatuh ke parit. Meski begitu, tetap saja yang memulai masalah harus dihukum. Safa disuruh menggantikan tugas piket lokal setiap hari selama satu minggu.
*
Semenjak hukuman itu dijatuhkan padanya, Safa selalu datang pagi-pagi untuk membersihkan kelas sendirian. Jika dia tidak mengerjakannya, maka hukumannya akan ditambah. Jika tidak mengerjakan lagi, ditambah lagi. Sampai terakhir wali kelas akan mengirim surat pemanggilan orangtua. Safa tidak mau hal tersebut sampai terjadi, Ibu dan Bapak pasti akan sangat kecewa. Padahal mereka sudah berbesar hati mengizinkannya sekolah di luar daerah.
Jika sahabat-sahabatnya tahu Safa mengerjakan tugas piket sendirian setiap hari, mereka pasti akan membantunya. Tapi Safa tidak mau memberitahu mereka, bahkan dia diam saja mengenai masalahnya dengan siswi itu.
Tapi pagi ini Safa tidak sengaja bangun kesiangan. Sehingga dia terpaksa membersihkan kelas dengan disaksikan seluruh warga kelas. Hal itu pun dijadikan kesempatan untuk mereka mengganggu Safa. Apalagi tingkah jahil siswa laki-laki yang sengaja mengotori tempat yang sudah disapunya, kemudain terpaksa menyapunya lagi berkali-kali. Begitu juga saat dia mengepel lantai, mereka sengaja berjalan di sana saat lantainya belum kering. Dan Safa terpaksa mengepel ulang. Safa kesal sekali dan sangat ingin marah dengan kelakuan mereka. Tapi apa boleh buat, kelas tidak akan bersih dengan marah-marah. Apalagi sebentar lagi wali kelas akan mengecek tugasnya. Safa mencoba bersabar sebisanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Hijrah (COMPLETED) ✔
SpiritualJauh dari kampung halaman. Jauh dari Tuhan. Nurul Safa Salsabila menghabiskan masa mudanya dengan hanyut dalam kemaksiatan. Mengaitkan kelingking, ucapkan perjanjian. Mereka fikir itu cinta. Mereka fikir akan bahagia. Lupa, masa depan menjadi taruh...